Jakarta, Berita Satu – Penduduk Indonesia berusia 60 tahun ke atas atau lanjut usia (lansia) diperkirakan meningkat dari 18 juta jiwa di tahun 2010 menjadi 80 juta pada 2030, atau naik 23% sampai 24%. Menghadapi lonjakan lansia ini, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bekerjasama dengan berbagai sektor mengembangkan program lansia tangguh.
Kepala BKKBN, Fasli Jalal, mengungkapkan satu-satunya cara untuk menekan lonjakan penduduk lansia adalah mengendalikan tingkat kelahiran. Namun, kenyataan bahwa beberapa program pengendalian penduduk dalam 5-10 tahun terakhir stagnan, kemungkinan itu sangat kecil.
Tetapi, untuk lonjakan lansia pada 2030, di mana 1 dari 4 penduduk Indonesia adalah orang tua, tidak bisa dengan cara menekan kelahiran. Pasalnya, lansia pada waktu itu adalah mereka yang sudah menikmati bonus demografi.
Tetapi, menurut Fasli, banyaknya lansia bukanlah suatu ancaman jika mereka produktif. Karena itu, BKKBN bersama berbagai sektor, seperti kesehatan dan pendidikan mengembangkan program lansia tangguh. Daerah yang diwaspadai lonjakan lansianya adalah Yogyakarta, dimana angkanya sudah hampir mendekati 12 persen dari total penduduknya.
"Selain merawat lansia ini lebih banyak hidupnya, dan lebih panjang masa produktif, BKKBN sekarang bersama pakar geriatri berupaya mengembangkan lansia tangguh," kata Fasli Jalal, di sela-sela temu media menjelang diselenggarakannya Rapat Kerja Nasional (Rakernas) BKKBN 2014, di Jakarta.
Rakernas BKKBN yang digelar pada Rabu, pekan ini, rencananya akan dibuka Menko Kesra Agung Laksono, dan dihadiri sejumlah menteri , seperti Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Badan Pemeriksa Keuangan, Bappenas, dan seluruh lembaga KKB di daerah serta petugas lapangan.
Lansia Tangguh
Fasli menjelaskan, lansia tangguh adalah upaya agar meskipun telah berusia di atas 60 sampai 70 tahun lansia tetap produktif. Misalnya, memperpanjang usia bekerja bagi lansia pensiunan di sektor formal, baik perusahaan maupun PNS, di atas 58 tahun dan 60 tahun.
Mereka diberikan berbagai pelatihan, sehingga masih bisa bekerja sampai 10 tahun berikutnya setelah pensiun. Baik itu pindah kerja baru dengan pelatihan keterampilan atau melanjutkan kelebihan, ketrampilan dan pengalaman yang sudah dimilikinya. Mereka bisa dipersiapkan menjadi kader keliling untuk mengampanyekan berbagai hal, termasuk soal KKB.
"Yang dibutuhkan dari mereka lebih banyak kebijaksanaanya atau otak, bukan otot. Juga mempertimbangkan risiko pekerjaan rendah," kata Fasli.
Sedangkan untuk lansia 70 sampai 80 diharapkan masih mandiri, artinya bisa mengurus dirinya sendiri. Baru di usia 80 tahun ke atas hampir sebagian besar membutuhkan pendampingan melalui pengembangan home care atau pengobatan di rumah. Menciptakan pakar geriatri yang sekarang jumlahnya masih minim, menyiapkan tenaga provider yang bisnisnya melayani orang tua atau pelayanan di luar keluarga.
Namun demikian, kata Fasli, semua upaya ini harus didukung dengan kemampuan kesehatan, dan fasilitas publik yang mendukung lansia bisa berkarya. Mulai dari jalan, jembatan penyeberangan, transportasi publik, dan lainnya.
Upaya lainnya adalah intervensi sejak awal siklus kehidupan manusia. Dimulai dari program 1000 hari pertama kehidupan, yaitu intervensi gizi yang memadai sejak dalam kandungan, saat bayi, balita, dan wajib belajar. Intervensi 1000 hari pertama penting karena penelitian menunjukkan balita yang kurang gizi kecenderungan menderita penyakit degeneratif di masa tua.
Diharapkan lansia lebih sehat, sehingga tidak menarik anggota keluarga, khususnya perempuan, untuk merawat mereka. Sebab, di masa bonus demografi nanti diharapkan lebih banyak perempuan bekerja di sektor formal.
Menanggapi hal ini, pakar kependudukan dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI), Sonny Harmadi, mengatakan lansia boleh saja dikategorikan sebagai bonus demografi kedua. Tetapi syaratnya mereka harus benar-benar produktif, meskipun kemungkinan itu kecil.
Pasalnya jumlah lansia di 2030 adalah mereka yang lahir sekitar tahun 1966, yang notabene berpendidikan rendah dan kualitas kesehatan kurang. Untuk menghadapi itu, harus ada upaya terobosan, misalnya dengan silver industri atau industri bagi lansia melalui pendidikan dan pelatihan. Seperti yang dilakukan Jepang maupun Singapura yang saat ini menghadapi masalah penuaan.
Lansia didorong ke sektor informal, karena sektor formal membatasi usia bekerja. Persoalannya saat ini, kata Sonny, infrastruktur belum ramah lansia. Pendidikan pun masih fokus kepada usia sekolah.
Karena itu, Sonny menyarankan BKKBN untuk mendesain kembali program bina keluarga lansia-nya agar mampu mendukung lansia tetap produktif dan meningkatkan kesehatannya. Meskipun kurang produktif, paling tidak lansia tidak membebani. Faktanya dari 70 tahun lansia, hanya 63 tahun sehat, sedangkan sisa 7 tahun sakit sakitan. [] D-13-MUT
*Sumber: Berita Satu | Foto: Istimewa