Jakarta, Rakyat Merdeka – ISU klasik yang selalu mengemuka setiap lima tahun sekali, tepatnya menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden, selain soal duet sipil-militer adalah tentang Jawa-luar Jawa. Para calon presiden (capres) unggulan seperti Joko Widodo (PDIP) dan Prabowo Subianto (Partai Gerindra) maupun capres non-unggulan Dahlan Iskan (Partai Demokrat), notabene ketiganya berlatar Jawa, hingga saat ini belum menentukan siapa pendampingnya.
Sementara itu, satu-satunya capres berlatar luar Jawa, Aburizal Bakrie (Golkar) secara perlahan mereposisi diri menjadi cawapres, sehingga makin meramaikan bursa cawapres luar Jawa bersama sejumlah nama seperti Jusuf Kalla (Golkar), Rizal Ramli (ekonom), Abraham Samad (profesional), Hatta Rajasa (PAN), Ryamizard Ryacudu (militer). Adapun tokoh Jawa yang berpotensi cawapres adalah Anies Baswedan (profesional), Mahfud MD (profesional/PKB), Pramono Edhie Wibowo (militer/Demokrat).
Indonesia yang merupakan negara demokrasi berkembang, masih dipengaruhi faktor primordial dalam menentukan kepemimpinan nasional. Namun isu primordial tidak berdiri sendiri, dia sangat dipengaruhi oleh faktor demografi politik yang ada, dimana deretan angka statistik kependudukan akan sangat menentukan kofigurasi sosial politik bangsa.
Ketika demografi dimaknai dengan perspektif politik maka akan menghasilkan penjelasan terhadap realitas sosial mulai dari pertarungan kekuasaan hingga kekerasan. Populasi penduduk tidak hanya dimaknai sebatas sederetan statistik numerik namun juga mempertimbangkan atribut sosial budaya yang melekat pada setiap individu dan level kekuasaan yang di miliki (Yogi Setya Permana, 2013).
Statistik Numerik
Pembahasan tentang duet Jawa-luar Jawa tidak perlu ditabukan bahkan diembeli dengan tuduhan rasis, karena ini merupakan realitas konsekuensi dari sebuah bangsa yang bhineka. Namun pembahasannya akan lebih jernih jika melihat dari sudut pandang demografi, bukan semata kesukuan sempit. Data statistik harus dipandang sebagai sebuah potret hidup yang berkembang, bukan benda mati.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.641.326 jiwa. Sepuluh besar provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak pertama adalah Jawa Barat 43.054.732 jiwa, kedua Jawa Timur 37.476.757 jiwa, ketiga Jawa Tengah 32.382.657 jiwa, keempat Sumatera Utara 12.982.204 jiwa, kelima Banten 10.632.166 jiwa. Lalu keenam DKI Jakarta 8.389.443 jiwa, ketujuh Sulawesi Selatan 8.034.776 jiwa, kedelapan Lampung 7.608.405 jiwa, dan kesembilan Sumatera Selatan 7.450.394 jiwa dan kesepuluh Riau 5.538.367 jiwa. Jika penduduk 10 provinsi ini digabungkan maka jumlahnya 174.769.245 jiwa atau sama dengan 73,5 persen dari total penduduk Indonesia. Artinya, sikap politik penduduk 10 provinsi tersebut bisa mewakili provinsi lainnya.
Dengan demikian, angka-angka di atas tidak bisa diperlakukan sebagai statistik numerik saja, karena memiliki kaitan yang erat dengan kepemimpinan nasional. Selera dan kehendak politik penduduk di 10 provinsi itu harus benar-benar diselami dan dipahami, dalam kaitannya dengan hajat Pemilihan Presiden (Pilpres), maka sosok dan karakteristik calon presiden dan calon wakil presiden yang akan diusung mestilah yang dikehendaki 10 provinsi tersebut.
Momentum Politik
Sejarah mencatat, republik ini beberapa kali dipimpin oleh duet kepemimpinan Jawa-luar Jawa yaitu Sukarno-Mohammad Hatta (1945-1956), Soeharto-Adam Malik (1978-1983), Soeharto-Umar Wirahadikusumah (1983-1988), Soeharto-B.J. Habibie (Maret-Mei 1998), Megawati Soekarnoputri-Hamzah Haz (2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (2004-2009).
Dari keenam duet Jawa-luar Jawa di atas, empat diantaranya memiliki "succes story", Sukarno-Hatta membawa bangsa Indonesia kepada kemerdekaan, Soeharto-Adam Malik meletakkan dasar trilogi pembangunan. Kemudian Soeharto-Umar Wirahadikusumah mencapai swasembada pangan, dan terakhir SBY-Jusuf Kalla berhasil dalam penegakan hukum. Adapun Soeharto-Habibie masa transisi, sedangkan Megawati-Hamzah Haz hanya meneruskan sisa pemerintahan Gus Dur.
Apakah "succes story" empat pemerintahan di atas akibat faktor Jawa-luar Jawa? Menempatkan para wakil presiden luar Jawa hanya sebagai pelengkap sangat tidak bijak, karena mereka adalah sosok yang mempunyai rekam jejak, dedikasi dan pengabdian panjang. Sudah barang tentu, Hatta, Adam Malik, Umar dan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden mempunyai peranan penting dalam "succes story" di era pemerintahannya.
Lalu pertanyaannya, apakah keempat wapres legendaris itu berhasil menduduki posisinya semata-mata karena faktor primordial? Tentu saja tidak! Melainkan, karena rekam jejak perjuangan serta momentum politik yang berbeda-beda. Momentum politik seperti apa yang diperlukan tokoh luar Jawa untuk mencapai kekuasaan? Tidak mudah mendapatkannya, salah satunya adalah dengan cara membaca dan mencermati dinamika demografi politik. Karena berdasarkan riset, perubahan demografi mengakibatkan implikasi serius bagi politik (Gary P Freeman, 2006).
Sampai hari ini, duet Jawa-luar Jawa masih sebatas opsi, tapi dengan mempertimbangkan faktor demografi politik di 10 provinsi penduduk terbesar yang ada, tentu Jawa-luar Jawa bisa menjadi sebuah konsepsi dan konsensus yang mencerminkan kebhinekaan bangsa.[] M.A. Hailuki, Pemerhati Politik, Ketua Bidang Diklat Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta
Sumber: Rakyat Merdeka | Foto: