JAKARTA, KOMPAS — Angka pernikahan usia dini pada usia 15-19 tahun di Indonesia masih terbilang tinggi. Usia yang terlalu muda untuk hamil tersebut dapat menyebabkan kehamilan berisiko yang tidak hanya berujung kematian ibu dan bayi, tetapi juga generasi baru dengan berbagai keterbatasan.
Saat pencanangan Kampanye Peduli Kesehatan Ibu 2014, Senin (28/4), Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron mengatakan, kematian ibu terjadi pada perempuan yang terlalu muda untuk hamil, terlalu tua untuk hamil, hamil yang jaraknya terlalu dekat, dan hamil terlalu sering.
”Harus disadari, kehamilan adalah investasi sumber daya manusia yang sangat tinggi nilainya sehingga harus dijaga baik,” katanya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, angka perkawinan usia dini (15-19 tahun) masih tinggi, yakni 46,7 persen. Di kelompok usia 10-14 tahun pun angka perkawinan mencapai 5 persen.
Hal itu diperkuat Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 yang menunjukkan angka kelahiran pada usia remaja 15-19 tahun ialah 48 per 1.000 kelahiran.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal menambahkan, dari 4,5 juta bayi lahir dalam setahun di Indonesia, 2,3 juta berasal dari pasangan yang menikah dini.
Fasli menjelaskan, pada usia muda (di bawah 19 tahun), organ reproduksi perempuan belum matang. Oleh karena itu, ketika hamil dan bersalin sangat memungkinkan terjadinya gangguan, misalnya perdarahan. Perdarahan penyebab kematian ibu paling banyak (32 persen), diikuti hipertensi (28 persen) dan infeksi (5 persen). ”Bisa juga terjadi preeklampsia atau eklampsia pada ibu bersalin yang hipertensi,” ujarnya.
Tahun 2013 ada 5.019 ibu yang meninggal karena kehamilan dan persalinan. Adapun jumlah bayi yang meninggal berdasarkan estimasi SDKI 2012 mencapai 160.681 anak.
”Ibaratnya, kalau pesawat jumbo jet berkapasitas penumpang sekitar 500 orang, maka ini sama dengan 10 pesawat jet besar yang jatuh dan semua penumpang, pilot, dan pramugarinya tewas,” tutur Ali Ghufron.
Persoalan gizi
Data SDKI 2012 memperlihatkan angka kematian ibu (AKI) masih 359 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi 32 per 1.000 kelahiran hidup.
Hal itu kian diperparah status gizi ibu hamil. Data Riskesdas 2013 memperlihatkan penduduk usia 15-24 tahun yang mengalami anemia sebanyak 18,4 persen. Menurut Fasli, walaupun ibu yang hamil telah cukup umur, bayi yang dilahirkannya akan kurang gizi. Berat bayi yang lahir bisa di bawah 2.500 gram dengan perkembangan otak yang terganggu.
Padahal, asupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan (janin hingga bayi berusia dua tahun) sangat penting. Pada masa ini, otak berkembang, massa tubuh dan komposisi badan bertumbuh, serta metabolisme glukosa, protein, dan hormon dimulai.
Bayi dengan asupan gizi yang kurang—yang di antaranya lahir dari ibu dengan status gizi kurang—akan terganggu fungsi kognitif dan kekebalan tubuhnya.
Oleh karena itulah, ujar Fasli, BKKBN memfokuskan kampanye kesehatan produksi dan Keluarga Berencana kepada generasi muda. Melalui edukasi, setidaknya mereka mengerti kapan usia yang tepat untuk hamil.
Sementara itu, kata Ali, pemecahan masalah pernikahan dini dan AKI dilakukan dari tingkat hulu hingga hilir dengan meningkatkan status gizi perempuan dan remaja, meningkatkan pendidikan kesehatan reproduksi, meningkatkan konseling pranikah bagi calon pengantin, hingga pemenuhan kebutuhan Keluarga Berencana.
Melalui Kampanye Peduli Kesehatan Ibu 2014, masyarakat didorong peduli terhadap kesehatan ibu lewat berbagai media kampanye. Di DKI Jakarta, yakni Jakarta Barat dan Jakarta Timur, dilakukan kegiatan kampanye berupa pendampingan ibu hamil oleh 400 fasilitator dari Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB). Setiap fasilitator akan menjangkau dan mendampingi 2-4 ibu dengan usia kehamilan minimal tiga bulan. (ADH)
*Sumber artikel: Harian KOMPAS, 29 April 2014 | Sumber foto: Istimewa