Yogyakarta, PSKK UGM — Mulai April 2015, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta tidak lagi mengenakan retribusi atau biaya terhadap masyarakat yang mengakses pelayanannya. Akan tetapi, denda keterlambatan masih diberlakukan dengan tujuan agar masyarakat bisa lebih tertib.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Dindukcapil Kota Yogyakarta, H. Sisruwadi saat memberikan paparannya dalam Workshop Standar Pelayanan Publik (SPP) Dindukcapil Kota Yogyakarta di Grage Hotel, Rabu (19/8) lalu. Baginya, denda keterlambatan bukanlah semata-mata untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Mekanisme denda juga berperan penting dalam mendukung penyelenggaraan kependudukan yang tertib, teratur, berkesinambungan, dan modern.
“Dindukcapil Kota Yogyakarta terus mengupayakan perbaikan terhadap pelayanan publiknya menjadi pelayanan yang pro terhadap masyarakat. Oleh karena itu, kami berupaya untuk mempermudah birokrasi pelayanan. Salah satu contohnya, “jemput bola” rekam data e-KTP beberapa waktu lalu di 45 kelurahan,” kata Sisruwadi.
Dari kegiatan tersebut, tampak bahwa masih banyak masyarakat Kota Yogyakarta yang belum terekam. Sebagian besar beranggapan, KTP lama non elektronik miliknya berlaku sampai 2017 dan masih bisa digunakan sehingga tidak perlu merekam e-KTP. Padahal, pemerintah telah menetapkan, mulai Januari 2015, KTP non elektronik sudah tidak berlaku lagi sehingga harus segera diperbaharui.
Sisruwadi juga menambahkan, dalam rangka menciptakan pelayanan publik yang memudahkan, Dindukcapil Kota Yogyakarta pada tahun ini juga membangun sistem pendaftaran akta kelahiran maupun akta kematian secara online. Melalui sistem ini, masyarakat tidak perlu berulang kali datang ke kantor dindukcapil untuk mengurus pembuatan akta. Segala macam persyaratan bisa dipindai dan diunggah secara online, begitu halnya dengan pengisian formulir pendaftaran. Permohonan akan segera diproses dan saat selesai, masyarakat akan mendapat pemberitahuan untuk mengambil akta sambil menukarkan persyaratan yang dibutuhkan.
“Semoga pada 2016 sistem pendaftaran akta online ini sudah dapat diujicoba dan digulirkan kepada masyarakat Kota Jogja. Tidak sedikit masyarakat yang mobilitasnya tinggi sehingga merasa sulit jika harus bolak-balik. Maka, dengan aplikasi ini harapannya masyarakat akan merasa lebih dimudahkan,” kata Sisruwadi lagi.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Triyastuti Setianingrum, M.Sc. mengatakan, upaya perbaikan pelayanan publik yang dilakukan oleh Dindukcapil Kota Yogyakarta sebenarnya tidak lepas dari pergeseran cara pandang atau paradigma. Ada pergeseran dari paradigma government ke governance. Dalam paradigma government, semua masalah publik adalah hak negara. Masyarakat tidak mendapatkan ruang untuk melakukan protes atau kritik. Berbeda halnya dengan paradigma governance.
“Saat ini, pelayanan yang diselenggarakan lebih banyak ke governance, bahkan sudah ada kolaborasi yang melibatkan sinergi dengan pihak swasta. Persoalan publik kini merupakan urusan bersama pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia usaha,” jelas Triyas.
Ada beberapa prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang baru. Pertama, melayani warga, bukan pelanggan atau customers. Artinya, kepentingan publik bukanlah agregasi kepentingan individu, melainkan dialog tentang nilai bersama. Bukan hanya memenuhi permintaan konsumen, namun juga membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan warga negara. Kedua, memenuhi kebutuhan publik. Administrator harus membangun pemahaman bersama tentang kepentingan publik serta menciptakan tanggungjawab dan kepentingan bersama. Ketiga, memahami bahwa akuntabilitas tidaklah sederhana. Lebih dari sekedar pasar, pemberi layanan publik juga harus memperhatikan hukum dan konstitusi, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standar profesional, dan kepentingan warga. Keempat, melayani ketimbang mengendalikan. Pemberi layanan publik harus bisa membantu warga dalam mengartikulasikan kepentingan bersama, bukan mengendalikan atau mendikte warga.
Untuk itu, Triyas kembali menambahkan, pemerintah perlu menyusun SPP, yakni tolak ukur yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan. SPP juga merupakan manifestasi dari kewajiban dan janji para penyelenggara layanan publik kepada masyarakat untuk menciptakan layanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. [] Media Center PSKK UGM.