Yogyakarta, detikNews – Meski dikenal sebagai Kota Pelajar, Yogyakarta ternyata masih menyimpan persoalan kependudukan yang pelik, utamanya terkait pernikahan dini. Bahkan peneliti mengungkap, penyebabnya tidak melulu karena hamil di luar nikah.
Dr Umi Listyaningsih, M.Si., peneliti dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada mengungkapkan, angka pernikahan dini di DI Yogyakarta tergolong tinggi karena memang banyak remaja di wilayah ini yang ingin menikah muda.
Ia bahkan pernah menemui sebuah kasus di mana pasangan muda yang ingin menikah dan berpura-pura meminjam test pack (alat penentu kehamilan) dari tetangganya agar bisa direstui.
"Jadi dia bersikeras untuk menikahi kekasihnya karena ngakunya sudah dihamili," ungkapnya di sela-sela Pertemuan Nasional Diseminasi dan Sosialisasi Hasil Kajian Dialog Kebijakan Kependudukan, di Grand Aston Hotel Yogyakarta, Senin (25/7/2016).
Kasus ini bahkan membuat camat di daerah tersebut turun tangan langsung untuk memastikan kebenarannya. Sang camat membawa pasangan itu ke Puskesmas, dan terbukti si gadis yang masih berumur di bawah 16 tahun tidak hamil.
Fakta ini pun tidak serta-merta membuat pasangan itu ciut nyalinya. Karena nekat, camat terpaksa harus memanggil pihak berwajib dan mengancam si pria dengan tuduhan tindak kriminal yaitu kekerasan pada anak, demi menggagalkan pernikahan tersebut.
Meski begitu, Umi menyebut di wilayah lain sudah terjadi penurunan angka pernikahan dini. Ia kemudian menyebut sebuah kecamatan di Gunung Kidul bernama Saptosari. Menurut Umi, salah satu pemicunya adalah karena partisipasi wajib belajarnya yang masih rendah, sehingga memberi peluang terhadap pernikahan dini.
"Namun per Juli 2016, angkanya sudah 0, dari sebelumnya 15 kasus per tahun," katanya.
Dikatakan Umi, untuk menekan angka pernikahan dini di wilayah ini, seluruh jajaran masyarakat sepakat untuk membuat MoU. Isinya antara lain melarang tokoh masyarakat untuk melamarkan anak atau remaja yang ingin menikah dengan kekasihnya. Begitu juga dengan masyarakat, sepakat untuk tidak ikut rewang (bantu-bantu) bila ada anggota masyarakat yang menikahkan anaknya yang masih di bawah umur.
"Jadi ada semacam sanksi sosial kalau ada yang melakukan pernikahan dini," simpulnya.
Di sisi lain, kesadaran remaja terhadap family planning (perencanaan keluarga) di Yogyakarta juga tergolong cukup rendah. Umi mengutarakan, tidak ada remaja yang mau mendiskusikan berapa jumlah anak yang ingin dimilikinya nanti, apalagi memikirkan soal penggunaan alat kontrasepsi atau memberikan ASI eksklusif untuk buah hati.
"Bagi mereka, nikah aja belum kok membicarakan ASI, dan banyak juga yang isin (malu, red) ketika membicarakan hal ini," ujarnya.
Diingatkan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Surya Chandra Surapati, pernikahan di usia dini tak hanya merugikan pasangan itu sendiri tetapi juga generasi penerus yang dihasilkan.
Mengapa harus menikah minimal di usia 21 tahun? Menurut Surya, pada usia tersebut, kematangan alat reproduksi sudah cukup, begitu juga kematangan mentalnya. Secara fisik, sel-sel leher rahim dan organ reproduksi sudah matang. Jika belum siap mental, kawin muda akan mengakibatkan banyak kejadian kawin-cerai belum lagi jika tiap menikah kembali si wanita kembali punya anak.
"Wanita itu harus pintar, itu penting karena wanita berperan utama untuk mendidikan anak. Apalagi, di rumah ibu adalah pendidik pertama dan utama," tegas Surya beberapa waktu lalu. [] Rahma Lillahi Sativa
*Sumber: detik.com | Ilustrasi pernikahan/tabloid nova