
JAKARTA, KOMPAS.com – Migrasi ke Jakarta sudah biasa terjadi usai perayaan Idul Fitri. Tak sedikit pemudik yang kembali ke Jakarta membawa serta sanak saudara atau tetangga untuk mengadu nasib di Ibu Kota.
Dari data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, sejak Lebaran tahun lalu hingga Juni 2015, tercatat 152.000 pendatang baru di Jakarta. Pada tahun 2014 saja Dinas Dukcapil mencatat jumlah pendatang baru di Jakarta sebanyak 68.500 orang, meningkat dibandingkan setahun sebelumnya yang sebanyak 51.500 orang.
Para pendatang ini acapkali dicap sebagai biang masalah sosial di perkotaan. Hingga tak heran, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memberikan syarat bagi para pendatang Jakarta. Namun, apakah benar para pendatang ini yang menjadi sumber masalah di perkotaan?
Pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga meyakini betul pendatang bukanlah sumber masalah perkotaan. Menurut Nirwono, masalah sosial di perkotaan justru disebabkan ketidakmampuan pemerintah daerah sendiri untuk menyediakan ruang gerak ekonomi dan sosial yang cukup, serta pemahaman yang salah kaprah soal urbanisasi.
“Kita itu selalu menganggap kedatangan para pemudik dari desa ke kota, termasuk ke Jakarta ini, adalah bagian dari urbanisasi. Padahal dalam ilmu perkotaan, pemahaman urbanisasi yang benar adalah proses menjadi kota. Pemahaman yang salah kaprah ini yang mengakibatkan seluruh kebijakan penanganan pemudik dan pendatang ke Jakarta salah kaprah,” kata Joga berbincang dengan Kompas.com, Selasa (21/7/2015).
Jumlah kelahiran
Contoh menarik yang disampaikan Nirwono, dalam 10 tahun terakhir ini jumlah pendatang ke Jakarta sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah kelahiran penduduk Jakarta. Dalam kajian Nirwono, jumlah kelahiran penduduk Jakarta tercatat sebesar 1,4 persen. Sementara, jumlah pendatang tidak sampai 0,4 persen dari penduduk Jakarta.
“Jadi tidak benar bahwa akibat migrasi, kemudian mengakibatkan Jakarta tambah sesak,” kata Joga.
Hasil menarik lainnya, yaitu lebih banyak penduduk kelas menengah Jakarta yang pindah ke daerah-daerah pinggiran yakni Bodetabek, dibandingkan dengan jumlah pendatang Jakarta. Nirwono mengatakan, meskipun data menunjukkan seperti itu, akibat pemahaman yang keliru tentang urbanisasi, maka layak jika pemerintah salah dalam mengambil kebijakan penanganan pendatang.
Masalah sosial
Nirwono menambahkan, jika dicermati masalah sosial di perkotaan sebetulnya disebabkan ketidakmampuan Pemda untuk menyediakan perumahan yang layak, menyediakan lapangan kerja yang memadai, mengatasi kemacetan lalu-lintas yang ditimbulkan, serta mengatasi menjamurnya kampung kumuh.
“Pada akhirnya semua itu dituduhkan kepada para pendatang. Para pendatang ini dicap sebagai orang miskin yang tidak punya uang dan kaum marjinal. Stigmanya begitu. Padahal kenyatannya bukan dari para pendatang masalah sosial itu timbul,” terang Nirwono.
Menurut pengamatan Nirwono, pemerintah belum beres menangani pemukiman kumuh. Pemerintah juga belum mampu menyediakan rumah susun yang dibutuhkan warga untuk hidup layak, serta kemacetan lalu-lintas yang membuat aksesibilitas warga menjadi semakin sulit.
Stigma
“Ini menumbuhkan stigma pendatang. Perhatikan statement yang diberikan gubernur kita, Pak Ahok. Warga yang datang ke Jakarta, harus pendatang yang mempunyai uang, mempunyai keahlian, dan keterampilan,” kata Nirwono.
“Itu kan membuat stigma tadi, bahwa selama ini persoalan Jakarta itu diakibatkan oleh para pendatang. Itu kan berarti stigma yang salah. Menurut saya stigma ini yang harusnya diubah,” kata dia lagi.
Beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan pihaknya tidak melarang warga yang pulang kampung untuk mengajak kerabat ke Jakarta, dengan catatan pendatang itu memiliki keterampilan dan modal untuk hidup di Ibu Kota.
"Kami tidak melarang (pendatang datang ke Jakarta). Bagaimana mau ngelarang kota begitu besar, memang Jakarta mau ditembok kayak kerajaan," kata Basuki seusai memimpin apel siaga pengendalian arus mudik dan arus balik Idul Fitri 1436 Hijriah, di Lapangan IRTI Monas, Jakarta Pusat, Rabu (8/7/2015).
Basuki sendiri memperkirakan jumlah pendatang tahun ini bakal lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ia memprediksi jumlah pendatang tahun ini berkisar antara 60.000 hingga 70.000.
Menurut Basuki, penurunan ini disebabkan semakin meratanya pembangunan di semua provinsi di Indonesia. Selain itu, lanjut dia, industri di Jawa Tengah dan Jawa Timur semakin berkembang. "Sebetulnya lama-lama orang tidak tertarik lagi datang ke Jakarta," lanjut pria yang akrab disapa Ahok itu. []
*Sumber: Kompas | Photo. Stasiun Pasar Senen, Jakarta/beritadaerah.com