KUALA LUMPUR, KOMPAS — Kurangnya tanggung jawab Myanmar atas krisis Rohingya mendorong Pemerintah Malaysia, Thailand, dan Indonesia bertemu. Pemerintah Malaysia, Minggu (17/5), mengatakan, Menteri Luar Negeri ketiga negara itu akan bertemu di Malaysia.
Dijadwalkan Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri RI Retno Lestari Priansari Marsudi pada Senin ini di Kinabalu. Selanjutnya, pada Rabu, Anifah dijadwalkan bertemu mitranya dari Thailand, Tanasak Patimapragorn. Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Malaysia mengatakan, kedua pertemuan terpisah itu secara khusus akan membahas krisis imigran Rohingya.
Pada Minggu, Anifah bertemu dengan mitranya dari Banglades, AH Mahmood Ali, di Kinabalu. Salah satu agenda khusus yang mereka bicarakan adalah krisis pengungsi dari Myanmar dan Banglades.
"Ini adalah salah satu topik dan isu yang sangat penting dalam agenda," kata Anifah.
Dalam beberapa waktu terakhir, ketiga negara ASEAN itu kebanjiran pengungsi asal Banglades dan pengungsi Rohingya, kelompok minoritas yang teraniaya di Myanmar. Pengungsi asal Banglades diduga meninggalkan negara mereka karena kondisi ekonomi yang buruk. Adapun migrasi massal warga Rohingya diduga dipicu diskriminasi sistematis oleh Pemerintah Myanmar.
Diperkirakan tak kurang dari 3.000 imigran warga Rohingya telah diselamatkan setelah terdampar di pantai-pantai Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
"Secara internal, Myanmar harus berurusan dengan warga Rohingya, bukannya memaksakannya kepada negara tetangga," kata Wakil Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin.
Sabtu lalu, PM Malaysia Najib Razak telah mendesak Myanmar untuk terlibat membantu memecahkan persoalan yang disebutnya sebagai bencana kemanusiaan itu.
"Malaysia telah memainkan bagian besar, tetapi kita bukan sumber masalah," kata Najib sebagaimana dikutip Bernama.
Myanmar sebelumnya menolak membahas masalah tersebut di forum regional. Mereka menganggap Rohingya adalah imigran ilegal dari Banglades. Myanmar menegaskan, warga Rohingya bukan warga negara Myanmar dan menolak bertanggung jawab atas kelompok minoritas itu.
Bahkan, mereka pun menolak undangan Pemerintah Thailand untuk hadir dalam pertemuan puncak tingkat regional mengenai isu itu pada 29 Mei. Myanmar menegaskan, masalah imigran Rohingya bukan persoalan mereka.
Tak hanya Malaysia, Sekretaris Kementerian Luar Negeri Banglades Shahidul Haque pun jengkel dengan sikap Myanmar. Saat ini Pemerintah Banglades tengah berupaya keras menahan gelombang imigran ilegal yang berupaya melintasi Teluk Benggala. Ia prihatin dengan banyaknya pengungsi Rohingya yang melarikan diri keluar negeri.
"Krisis Rohingya dibuat oleh Myanmar, yang harus menemukan solusi," kata Haque. Ia mengharapkan ada tekanan internasional atas Myanmar terkait krisis Rohingya itu.
Sikap Australia
Secara terpisah, PM Australia Tony Abbott mengatakan, menghentikan aliran manusia perahu adalah langkah utama mengakhiri gelombang imigran ke Asia Tenggara. Australia selama ini menerapkan kebijakan keras terhadap pengungsi.
Australia tidak segan memulangkan mereka atau menempatkan mereka di Pasifik Selatan. Tidak mengherankan jika Abbott tak terlalu peduli dengan langkah Indonesia, Malaysia, atau Thailand menangani pengungsi asal Banglades dan Rohingya.
"Ya, kami selalu harus menjadi manusiawi dan selalu harus menjadi layak. Namun, pada akhirnya kami harus menghentikan perahu," kata Abbott di Perth, Australia. Meskipun kebijakan itu mengundang kecaman, Australia tidak mundur. (AFP/JOS)
*Sumber: Harian Kompas, 18 Mei 2015