Yogyakarta, PSKK UGM – Belum banyak penelitian yang membahas tentang bagaimana kondisi anak-anak pasca ditinggalkan orang tuanya bermigrasi. Beberapa studi dan kebijakan lebih banyak mendiskusikan soal kesejahteraan rumah tangga migran, remitan, maupun proses migrasi. Padahal, anak-anak yang ditinggal bermigrasi adalah kelompok rentan sehingga penting untuk mengetahui kondisi serta pengaruh yang dirasakannya.
Studi Child Health and Migrant Parents in South-East Asia (CHAMPSEA) di Indonesia yang dilakukan oleh Asia Research Institute, National University of Singapore dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada pada 2011 lalu secara gamblang membahas soal itu. Sri Purwatiningsih, M.Kes, peneliti PSKK UGM mengatakan, dalam studi ini, tanggapan anak-anak terhadap kehidupan mereka setelah ditinggal orang tua bermigrasi cukup beragam.
Terkait kesejahteraan rumah tangga, sebanyak 48,9 persen anak mengatakan kehidupannya menjadi lebih mudah setelah ayahnya bermigrasi. Namun, sebanyak 35,1 persen anak mengatakan kehidupan sehari-harinya menjadi lebih berat di saat ibunya bermigrasi. Sementara itu, 40 persen anak dari rumah tangga dengan kedua orang tua migran mengatakan kehidupan sehari-harinya sama saja dan 40 persennya lagi mengatakan hidupnya menjadi lebih berat. Faktor ibu tampaknya sangat berperan dalam sebuah keluarga, terutama terhadap anak.
“Anak-anak lebih memilih ayahnya yang pergi bermigrasi daripada ibu atau kedua orang tuanya sekaligus yang bermigrasi. Ketidakhadiran orangtua secara lengkap inilah yang kemungkinan membuat anak merasa berat,” kata Sri.
Di saat ibu atau kedua orang tuanya bermigrasi, peran orang tua digantikan oleh keluarga luas. Sementara jika ayah yang bermigrasi, masih ada ibu yang akan melakukan fungsi pengasuhan bagi anak-anak. Studi ini juga menunjukkan, peran dan fungsi orang tua digantikan oleh nenek apabila ibu atau kedua orang tua bermigrasi. Data memperlihatkan, 60 persen rumah tangga migran dengan tipe kedua orang tua adalah migran, memilih nenek dari pihak ibu untuk mengasuh anak-anak yang ditinggal bermigrasi. Peleburan keluarga inti ke dalam keluarga luas juga memberi dampak terhadap anak, karena adanya perubahan pola pengasuhan anak.
Respon lain yang ditanyakan kepada anak di dalam studi ini, yakni tentang keinginan anak untuk bermigrasi. Sri mengatakan, fenomena migrasi yang sudah cukup lama seperti yang terjadi di Kabupaten Ponorogo turut mempengaruhi sikap anak terhadap migrasi. Pada umumnya anak-anak memiliki rencana untuk juga bekerja di luar negeri seperti yang dilakukan oleh orang tuanya.
“Anak yang ditinggal bermigrasi oleh kedua orang tuanya banyak yang berkeinginan untuk juga bekerja di luar negeri. Ada 89,9 persen anak. Berbeda dengan mereka yang ditinggal ibunya bermigrasi, hanya 61,6 persen anak yang ingin mengikuti jejak untuk bermigrasi,” kata Sri lagi.
Persepsi anak terhadap keinginan bermigrasi ini selain dipengaruhi oleh aktivitas migrasi yang dilakukan oleh orangtuanya, kemungkinan juga terbangun oleh maraknya aktivitas migrasi di lingkungan sekitarnya. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tahun 2012 menunjukkan, Kabupaten Ponorogo merupakan kabupaten sebagai pengirim migran terbesar, sehingga fenomena migrasi merupakan hal yang banyak dialami oleh anak-anak di Ponorogo.
Studi CHAMPSEA 2011 menggarisbawahi pentingnya mengetahui kondisi anak sebagai imbas dari fenomena migrasi internasional terhadap keluarga yang ditinggalkan maupun perubahan lingkungan sosial di beberapa daerah yang menjasi “kantung-kantung” pekerja migran Indonesia. Studi ini dilakukan di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat serta Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Ponorogo di Jawa Timur.
Khusus di Kabupaten Ponorogo, Kecamatan Babadan menjadi wilayah sampel penelitian mengingat angka migrasi yang tinggi di sana. Kecamatan ini terdiri dari 12 desa dan tiga kelurahan. Sementara jumlah responden sebanyak 137 anak usia 9 sampai 11 tahun dari keluarga migran. Ada kriteria yang ditetapkan untuk pemilihan responden anak, yakni salah satu orang tua atau kedua orang tuanya adalah migran internasional yang selama 6 bulan terakhir belum pernah kembali. [] Media Center PSKK UGM | Foto dok. CHAMPSEA Kualitatif 2007