Yogyakarta, PSKK UGM – Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami perubahan “wajah” yang signifikan. Kini, akan dengan mudahnya kita menemukan banyak bangunan bertingkat tinggi yang difungsikan sebagai hotel, apartemen, mall, kompleks perkantoran serta pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan lainnya. Maraknya pembangunan infrastruktur tersebut tidak lepas dari pesatnya kunjungan wisatawan ke Yogyakarta. Belum lagi, daya tarik Yogyakarta sebagai daerah tujuan pendidikan. Tiap tahun ajaran baru, ribuan mahasiswa dan siswa dari luar daerah memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Yogyakarta.
Keberagaman di Yogyakarta bukanlah hal baru. Masyarakat Yogyakarta bahkan dinilai relatif terbuka, fleksibal, dan toleran terhadap perbedaan. Data Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI menunjukkan, Yogyakarta berada pada posisi yang cukup tangguh atau moderat karena indeks ketahanannya 2,97.
Namun, tidak berarti Yogyakarta bebas dari potensi konflik. Konfliknya bersifat laten, sebagai konsekuensi logis dari perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik di Yogyakarta. Beberapa waktu lalu misalnya, terjadi aksi kriminalitas yang disertai labelisasi dan stigmatisasi pada etnis tertentu. Lalu, isu WNI nonpribumi terkait penguasaan tanah juga sempat ramai diperbincangkan. Konflik sewaktu-waktu bisa terjadi, terutama oleh faktor-faktor pemicu seperti kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, separasi politik, hingga dorongan intoleransi yang datang dari kelompok fundamentalis agama.
Terkait bidang ekonomi, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Heruanto Hadna menyampaikan, Gini Ratio yang menunjukkan ketimpangan pendapatan di Yogyakarta masih terhitung tinggi, yakni 0,439. Ketimpangan Yogyakarta bahkan tertinggi setelah Papua. Padahal, pertumbuhan ekonomi Yogyakarta pun cenderung turun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Meski lebih baik jika dibandingkan dengan rata-rata nasional (4,79 persen), pertumbuhan ekonomi DIY pada 2015 (4,94 persen) masih lebih rendah dibandingkan pada tahun 2014 (5,18 persen) dan 2013 (5,5 persen), bahkan merupakan yang terendah di regional Jawa-Bali-Nusa Tenggara.
“Pertumbuhan ekonomi adalah hal yang penting. Jika kita ingin membangun ketahanan ekonomi, maka di satu sisi pertumbuhan perlu menunjukkan tren yang baik, namun di sisi lain, pertumbuhan tersebut seharusnya juga bisa dinikmati oleh semua kelompok,” kata Hadna dalam Dialog Ranah Publik TVRI Yogyakarta bertema “Memperkuat Ketahanan Ekonomi dan Sosial Masyarakat DIY”, Jumat (6/5).
Melihat ketimpangan pendapatan yang tinggi di Yogyakarta, Hadna menambahkan, nampaknya baru sebagian masyarakat saja yang menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut. Ini jelas berpotensi untuk menimbulkan konflik. Ketahanan ekonomi menurutnya ditandai dengan tumbuhnya sektor produksi dengan kapasitas atau kekuatan mandiri. Selain itu, sektor distribusi maupun konsumsi juga merata baik dilihat dari sisi wilayah maupun antargolongan.
“Bukan anti terhadap pembangunan mall. Tapi, pemerintah harus lebih memperhatikan para pelaku usaha lokal yang banyak bergelut di sektor-sektor ekonomi kecil. Misalnya, dengan menguatkan kemampuan internal UKM, seperti pelatihan maupun akses permodalan yang mudah,” jelas Hadna.
Sementara itu, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) DIY, Agung Supriyono, S.H. dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan, apabila ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat Yogyakarta kuat, maka segala tantangan dan gejolak baik dari dalam maupun luar, bisa dihadapi dengan baik. Hasilnya, ketenteraman, ketertiban, dan kenyamanan bisa dirasakan oleh masyakarat luas.
Bekerja sama dengan PSKK UGM, Agung menambahkan, Kesbanglinmas DIY kembali melakukan studi lanjutan tentang dinamika perubahan sosial dan potensi konflik di Yogyakarta. Hasil studi akan menjadi cermin bagi semua pihak terutama para pemangku kepentingan di Yogyakarta karena secara gamblang dijelaskan tentang potensi konflik dan perubahan sosial yang terjadi di masing-masing kabupaten.
“Ini salah satu upaya mitigasi konflik agar bisa menjamin stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Hasil riset bersama ini juga mendorong keluarnya Peraturan Gubernur DIY Nomor 9 Tahun 2015 tentang Jaga Warga,” kata Agung.
Adapun semangat dari gerakan Jaga Warga adalah menumbuhkan social relationship seperti kepedulian, kebersamaan, gotong royong di dalam mewujudkan lingkungan yang aman. Gerakan ini juga bertujuan untuk membantu pihak berwenang dalam menangani kerawanan sosial dan bencana. Jaga Warga beranggotakan tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda, elemen perempuan serta anggota masyarakat lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan wilayah serta berangkat dari inisiatif masyarakat. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi ketimpangan ekonomi/perdakumuh.com