Yogyakarta, detikNews – Peningkatan tren pernikahan dini memang terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia. Namun akar persoalannya sudah tidak melulu soal ekonomi dan pendidikan, melainkan berkaitan satu sama lain.
Disampaikan Dr Ir Taufik Hidayat, M.Si., peneliti kependudukan dari Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, di wilayahnya, akar masalah pernikahan dini tak lagi didasari oleh masalah ekonomi keluarga.
"Dulu memang karena ekonomi, demi melepaskan beban orang tua," katanya di sela-sela Pertemuan Nasional Diseminasi dan Sosialisasi Hasil Kajian Dialog Kebijakan Kependudukan, di Grand Aston Hotel Yogyakarta, Senin (25/7/2016).
Tetapi dari hasil pengamatan yang dilakukannya di Kecamatan Tapin dan Hulu Sungai Selatan di mana angka pernikahan dininya paling tinggi se-Kalsel terungkap fakta penting. Melepas anak gadis untuk menikah seharusnya mengurangi beban ekonomi keluarga, tetapi di Tapin, setelah menikah, pasangan ini justru tinggal di rumah orang tua perempuan.
Ada pula keluarga juga ingin segera menikahkan anaknya yang masih remaja karena khawatir mereka terjerumus melakukan perbuatan yang tidak diinginkan. "Kami pernah menemui remaja yang sudah menikahnya. Usianya baru 12 tahun 11 bulan. Dia bilang sudah pacaran lama dan daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, akhirnya dinikahkan," jelas Taufik.
Dengan alasan yang sama, oknum pemerintah setempat juga terkesan memudahkan proses pengurusan untuk pernikahan yang dilakukan pasangan di bawah umur. Semisal pemberian dispensasi umur oleh pengadilan agama. Bahkan Taufik mengungkap, hanya 0,4 kasus saja yang terbukti ditolak.
Taufik menambahkan, jumlah pasangan menikah dini di Tapin mengalami kenaikan paling signifikan dibanding daerah lain. Di Kalsel, angkanya bergeser dari 0,63 persen (2012) menjadi 1,41 persen (2015), akan tetapi di Tapian angkanya bisa mencapai 1,6 persen (2012) dan terjadi kenaikan sebesar 4,41 persen di tahun 2015.
Satu hal yang menarik dari Kalsel adalah meski angka pernikahan dininya tinggi, Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SKDI) 2012 mengungkap Total Fertility Rate (TFR) di provinsi ini hanya mencapai 2,5. Artinya, rata-rata seorang perempuan melahirkan antara 2 hingga 3 anak sepanjang hidupnya.
"Bahkan ada kebijakan di sebuah kabupaten di Kalsel di mana kalau ada yang menikah dini, oleh KUA dicatat kemudian datanya dilaporkan ke BKKBN. Dari sini mereka mendapat pendampingan supaya kehamilannya bisa dicegah," urai Taufik.
Dari situ Taufik berpendapat bahwa strategi untuk menurunkan angka pernikahan dini di Kalsel tak bisa hanya dengan membenahi faktor penyebabnya saja. Misal terkait pemberian penyuluhan pada anak SMP. Cara ini dirasa kurang tepas mengingat rata-rata pelaku pernikahan dini adalah tamatan SD.
"Kami juga mencoba melakukan pendekatan berbeda, yaitu pada kelompok tani. Sebab 80 persen orang tua yang menikahkan anaknya di bawah umur adalah petani," jelasnya.
Kepala PSKK UGM, Dr.soc.pol Agus Heruanto Hadna, M.Si., menekankan, penggunaan strategi konvensional dalam memahami dan menangani isu kependudukan memang tidak lagi bisa dilakukan. Salah satunya dipengaruhi oleh teknologi media.
"Karena media lebih berpengaruh terhadap perubahan yang ada di masyarakat, seperti tentang peran suami dan istri, atau berapa jumlah anak yang diinginkan, tidak lagi berdasarkan teori bahwa jumlah anak ditentukan pekerjaan atau siapa yang berpendapatan lebih banyak saja," tutupnya.
Agus juga berharap kajian tentang kependudukan menjadi perhatian tersendiri bagi pembuat kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah untuk menciptakan kebijakan atau evidence-based policy. [] Rahma Lillahi Sativa
*Sumber: detikNEWS.com | Photo child marriage in NTB/UN Women Asia Pasific (Flickr)