Masyarakat perlu dilibatkan untuk mengidentifikasi adanya pekerja anak.
MajalahKartini.co.id – Pemerintah perlu melibatkan peran komunitas atau masyarakat dalam program penghapusan pekerja anak. Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Widyaningrum mengatakan, masyarakat perlu dilibatkan untuk mengidentifikasi adanya pekerja anak. Selain itu, masyarakat dapat membantu membuat perencanaan terkait penghapusan pekerja anak di ingkungannya.
"Menarik anak dari pekerjaan khususnya di sektor-sektor yang eksploitatif idealnya dilakukan oleh masyarakat dengan pemahaman dan kesadaran penuh," kata Novi Widyaningrum di Yogyakarta.
Menurut Novi, ketiadaan data yang valid mengenai jumlah pekerja anak di Indonesia menunjukan bahwa kasus itu seperti fenomena gunung es sehingga identifikasinya lebih efektif jika dilakukan oleh masyarakat sendiri secara langsung.
Dia mencontohkan hasil studi kualitatif kasus pekerja anak di perkebunan tembakau di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, pada 2014, dari sebanyak 24 informan pekerja anak, sebagian besar mengaku mulai bekerja karena disuruh oleh orang tua. Sebagian mereka mendapat upah dari orang tua, dan sebagian lainnya tidak mendapatkan upah.
"Setiap anak berpeluang bekerja melalui proses internal sebab hampir seluruh orang tua dari pekerja anak tersebut tidak memiliki lahan perkebunan tembakau sendiri," kata Novi.
Namun demikian, beberapa pekerja anak lainnya mengaku bekerja atas dasar inisiatif mereka sendiri yang di sisi lain juga terpengaruh dari teman-teman di lingkungannya.
"Anak merasa sungkan jika menganggur, tidak melakukan apa-apa sementara orang tuanya bekerja di hadapan mereka. Dengan dorongan bekerja bersama teman-temannya mereka dengan sukarela membantu menyelesaikan pekerjaan orang tuanya," kata dia.
Menurut dia, sebanyak 70 persen pekerja anak yang tidak lagi bersekolah sudah tidak mau lagi memikirkan materi pelajaran sekolah. Sedangkan 30 persen sisanya karena ketidakmampuan keluarga untuk membiayai.
Selain rendahnya minat belajar, pemakluman dari orang tua juga menjadi persoalan tersendiri. Seluruh informan pekerja anak mengatakan para orang tua mereka tidak mempermasalahkan jika anak berekja di kebun, sebaliknya justru senang karena bisa ikut menyokong ekonomi keluarga.
Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sejak 2008 telah melakukan aksi Pengurangan Pekerja Anak untuk mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) dengan melakukan penarikan terhadap pekerja anak dari lingkungan kerjanya dan dikembalikan ke dunia pendidikan.
Melalui PPA-PKH yang dilakukan mulai 2008 hingga 2016, pemerintah mengklaim telah melakukan penarikan sebanyak 80.163 pekerja anak.
"Memang sudah ada sekian kebijakan dan strategi dari pemerintah. Namun capaian itu masih kurang efektif apabila belum ada pemahaman tentang pekerja anak dan hak anak di level komunitas atau masyarakat," kata dia. [] Taufik Hidayat
*Sumber: Majalah Kartini Online