Pengeluaran penduduk miskin di perdesaan makin jauh di bawah garis kemiskinan.
Inflasi sulit dikendalikan, garis kemiskinan di perdesaan menjadi cukup tinggi.
Koran Jakarta, JAKARTA – Sejumlah kalangan mengingatkan agar pemerintah mencermati tingkat kemiskinan di perdesaan yang makin parah. Hal itu ditandai dengan kenaikan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan
Meski jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2016 turun menjadi 10,86 persen atau 28,01 juta orang, meningkatnya kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan menunjukkan bahwa pekerjaan rumah ketimpangan ekonomi masih belum menemukan jalan keluarnya.
Bank Dunia melansir angka gini rasio Indonesia sebesar 0,45 pada 2016, naik dari 0,42 setahun sebelumnya. Angka gini rasio yang makin besar (sampai dengan 1) menunjukkan ketimpangan kesejahteraan yang makin tinggi.
Peneliti senior Pusat Studi Kependukan dan Kebijakan UGM Yogyakarta, Sukamdi, mengatakan hal itu ketika dihubungi, Senin (18/7).
Menurut dia, sebenarnya ada kebijakan yang lebih baik di pemerintahan yang sekarang dibanding pemerintahan sebelumnya terkait pengentasan kemiskinan. Yakni, dengan melakukan kebijakan terintegrasi antar kementerian dan departemen di pemerintahan daerah.
Sementara pemerintahan sebelumnya justru tersebar di berbagai kementerian dan departemen sehingga kebijakan yang kebanyakan berupa bantuan langsung sering salah sasaran dan evaluasi akan program juga sulit dilakukan.
Sukamdi mengungkapkan pemerintah hari ini juga memiliki dana desa yang cukup besar yang sebenarnya bisa menjadi pengungkit bagi kemiskinan yang kebanyakan juga berada di desa. “Kalau melihat data BPS ini kita bisa katakan berarti masih ada yang masalah di eksekusi program. Orang terbawah dalam jurang kemiskinan belum bisa ditarik, pemerintah bisa evaluasi dana desa, mendagri evaluasi kebijakan APBD. Banyak saya dengar pemda juga masih sulit mengeksekusi pengeluaran berbasis program yang terintegrasi antardepartemen ini. Mereka masih biasa by pos belum program,” kata Sukamdi.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2016 turun menjadi 10,86 persen atau 28,01 juta orang. Meski menurun, BPS menilai persentase penduduk miskin Maret 2016 perlu diwaspadai lantaran masih mendekati level 11 persen. (lihat infografis)
Sulit Dikendalikan
Berdasarkan wilayah, jumlah penduduk miskin daerah perkotaan pada Maret 2016 tercatat 10,34 juta penduduk, turun 0,28 persen dibandingkan September 2015 dan turun 0,31 secara year-on-year (YoY). Begitu juga dengan jumlah penduduk miskin di perdesaan pada Maret 2016 sebanyak 17,67 juta, turun 0,22 persen dibandingkan September 2015 dan turun 0,27 persen YoY.
Menurut BPS, tingkat kemiskinan yang terjadi pada wilayah perdesaan di Indonesia pada periode Maret 2016 semakin dalam dan parah. Kepala BPS Suryamin menyatakan Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 1,84 pada September 2015 menjadi 1,94 pada Maret 2016. Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,51 menjadi 0,52 pada periode yang sama.
Sedangkan untuk wilayah perdesaan, Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 2,40 menjadi 2,74 dan Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,67 menjadi 0,79. Pada wilayah perkotaan Indeks Kedalaman Kemiskinan justru turun dari 1,29 menjadi 1,19 dan Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,35 menjadi 0,27. “Kami menduga di perdesaan terjadi peningkatan kedalaman dan keparahan kemiskinan, sehingga secara rata-rata di desa meningkat,” jelas Suryamin di Jakarta, Senin.
Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi pula ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Suryamin menuturkan, ada tiga faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Pertama, garis kemiskinan desa cukup tinggi, seiring dengan inflasi yang sulit dikendalikan. “Garis kemiskinan desa lebih tinggi karena inflasi desa lebih tinggi dari perkotaan, sehingga di luar Jawa distribusinya perlu jarak yang jauh dan waktu lama sehingga menyebabkan adanya margin perdagangan,” papar dia.
Kedua, warga perdesaan lebih banyak mengkonsumsi produk yang berasal dari kota. Misalnya mi instan, susu, dan produk lainnya. Ketiga, pembelian barang dilakukan secara eceran sehingga membuat harga menjadi lebih mahal dibandingkan pembelian dalam jumlah besar. []
*Sumber: Koran Jakarta