Yogyakarta, detikNews – Pernikahan di usia yang belum matang, baik secara fisik maupun mental, masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan di wilayah yang dekat dengan ibukota seperti di Jawa Barat.
Disampaikan Dr Sri Sulastri dari Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Padjadjaran, tren ini masih tinggi, bahkan di kota besar seperti Bandung. Namun untuk mengungkap seberapa besar tren ini, Sri dan timnya mengambil studi kasus di sebuah desa di Cianjur bernama Campakawarna.
Di daerah ini, faktor yang mendasari tingginya angka pernikahan dini sebenarnya tak jauh berbeda dengan daerah lain, seperti kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan.
"Di sini perempuan masih dianggap membebani ekonomi keluarga. Dan yang paling penting ada kultur untuk menikah di usia muda," tegas Sri dalam Pertemuan Nasional Diseminasi dan Sosialisasi Hasil Kajian Dialog Kebijakan Kependudukan, di Grand Aston Hotel Yogyakarta, Senin (25/7/2016).
Secara rinci Sri menjelaskan, menikah di usia muda atau kisaran usia 14-15 tahun adalah 'hal biasa' di desa tersebut. Bahkan bila seorang anak gadis tak kunjung menikah, maka akan jadi bahan pergunjingan di desa.
Sri melanjutkan, di sisi lain ada kecenderungan untuk memuluskan pernikahan dini seperti praktik menaikkan umur anak perempuan di Kartu Keluarga. Tak hanya itu, minat melanjutkan sekolah di desa tersebut juga rendah.
"Banyak yang hanya tamat SD. Ketika ditanya (mengapa menikah, red) alasannya sekolahnya jauh, trus daripada nggak ngapa-ngapain di rumah, lebih baik dinikahkan oleh orang tuanya," paparnya.
Kondisi serupa juga ditemukan di Kalimantan Selatan. Di provinsi ini, banyak remaja yang menikah karena sulit atau tidak adanya akses untuk melanjutkan pendidikan.
"Bukannya tidak ada biaya, tetapi sekolah jauh. Dan bukan putus sekolah karena kawin, tapi putus sekolah lalu kawin," ungkap Dr Ir Taufik Hidayat, M.Si. dari Universitas Lambung Mangkurat dalam kesempatan terpisah.
Bahkan di Kalsel sendiri, banyak kasus dispensasi pernikahan yang diloloskan hanya karena alasan 'kalau terjadi apa-apa, siapa yang mau tanggung jawab'. Peran tokoh agama juga krusial karena ada pemuka agama yang memang menikahkan anak-anaknya di bawah umur. Belum lagi budaya, di mana biasanya ketika si ibu menikah dini, maka anak-anaknya juga didorong untuk melakukan praktik serupa.
"Salah satu tugas orang tua itu kan segera menikahkan anaknya. Itu yang mereka gunakan sebagai dasar. Jadi agama tidak melarang, budaya mendorong, dan remaja pun ternyata ingin," simpulnya.
Taufik mengakui kasus pernikahan dini di wilayahnya adalah yang tertinggi di Indonesia untuk anak berusia kurang dari 15 tahun (9 persen), dan tertinggi ke-3 untuk pasangan usia 15-19 tahun (48,4 persen). Hal ini bahkan sudah diakui secara nasional dengan dicantumkannya 'prestasi' Kalsel itu di dalam Riset Kesehatan Dasar 2010.
Diakui Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol Agus Heruanto Hadna, M.Si., pernikahan dini masih menjadi isu menarik terkait kependudukan.
"Ini pun sebenarnya bukan isu baru. Tapi secara nasional memang meningkat dan terjadi di semua provinsi, padahal lebih banyak mudharatnya kan. Dari segi kesehatan jelas tidak memenuhi, apalagi ekonomi dan ketahanan keluarganya," timpalnya kepada detikcom. [] Rahma Lillahi Sativa
*Sumber: Detik.com | Photo: early marriage/global living foundation