YOGYAKARTA, KOMPAS – Selama beberapa tahun terakhir, Daerah Istimewa Yogyakarta menghadapi persoalan ketimpangan ekonomi yang serius. Bahkan pada Maret 2016, DIY menjadi provinsi dengan ketimpangan ekonomi tertinggi kedua di Indonesia.
“Ketimpangan ekonomi di DIY ini sudah lampu kuning. Kalau proses pembangunan dibiarkan seperti ini, pasti ketimpangan akan terus naik,” kata Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Agus Heruanto Hadna dalam diskusi “Membedah Kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta”, Rabu (24/8), di Kantor Perwakilan Harian Kompas DIY.
Pembicara lain dalam diskusi yang digelar oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan harian Kompas itu adalah anggota DPD, Hafidh Asrom, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY Tavip Agus Rayanto dan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Bambang Kristianto. Diskusi dipandu wartawan Kompas, Bambang Sigap Sumantri.
Agus mengatakan, data menunjukkan, ada masalah ketimpangan ekonomi yang cukup tinggi di DIY. Berdasarkan data BPS, pada Maret 2016, rasio gini di DIY mencapai 0,42 atau tertinggi kedua setelah Sulawesi Selatan. Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata rasio gini nasional yang sebesar 0,379.
Rasio gini adalah indikator ketimpangan berdasarkan tingkat pengeluaran penduduk. Nilai 0 menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan 1 menunjukkan ketimpangan paling parah.
Rasio gini DIY pernah mencapai 0,36 pada 2008, tetapi kemudian naik menjadi 0,41 pada 2010, lalu naik lagi menjadi 0,44 pada 2013. Rasio gini DIY pada Maret 2016 memang menurun dibandingkan dengan Maret 2015 yang mencapai 0,433.
Menurut Agus, angka rasio gini DIY yang mencapai 0,420 harus menjadi peringatan bagi Pemerintah Daerah DIY. Perlu upaya serius agar rasio gini ini tidak terus naik karena peningkatan ketimpangan ekonomi akan menimbulkan berbagai masalah.
Bambang Kristianto mengatakan, ketimpangan di DIY juga tercermin dari ketimpangan antarkabupaten/kota di provinsi itu. Selama ini, pembangunan dan kegiatan ekonomi memusat ke Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, sementara tiga kabupaten lainnya, yakni Bantul, Gunung Kidul, dan Kulon Progo cenderung tertinggal.
Karena itu, kata Tavip, Pemda DIY terus mendorong pembangunan Kulon Progo, Gunung Kidul, dan Bantul. Kulon Progo akan menjadi lokasi sejumlah proyek strategis, antara lain pembangunan bandar udara internasional, pelabuhan perikanan dan kawasan industri. Gunung Kidul didorong menjadi daerah tujuan wisata. Sementara Bantul didorong menjadi pusat usaha mikro, kecil, dan menengah. [HRS]
*Sumber: Harian Kompas (25/8) | Photo Diskusi Kompas/dok.PSKK UGM