Profil Kemiskinan l Ditunggu Realisasi Pemerintahan Jokowi Membangun dari Pinggiran dan Desa
Ada beberapa solusi mengatasi keparahan kemiskinan di perdesaan, yakni redistribusi lahan dan mengoptimalkan penggunaan Dana Desa
JAKARTA, Koran Jakarta – Setelah 71 tahun Indonesia merdeka, baru kali ini pemerintah memosisikan desa sebagai fokus utama pembangunan. Presiden Jokowi sebelumnya berjanji untuk membangun Indonesia dari pinggiran dan desa-desa.
Strategi itu tentunya tak lepas dari fakta bahwa selama ini kantung kemiskinan di Tanah Air masih berada di perdesaan. Penduduk desa belum menikmati kesejahteraan sebagai buah dari pembangunan selama ini.
Dalam implementasinya, realisasi janji Jokowi untuk membangun dari pinggiran dan desa-desa masih menghadapi jalan panjang yang berliku. Meski data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang, sejumlah kalangan mengingatkan agar pemerintah mencermati tingkat kemiskinan di perdesaan yang makin parah.
Hal itu ditandai dengan kenaikan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan. Meningkatnya kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan menunjukkan bahwa pekerjaan rumah ketimpangan ekonomi masih belum menemukan jalan keluarnya.
Menanggapi profil kemiskinan di perdesaan itu, peneliti senior Pusat Studi Kependukan dan Kebijakan UGM, Sukamdi, mengatakan sebenarnya ada kebijakan yang lebih baik di pemerintahan yang sekarang dibanding pemerintahan sebelumnya terkait pengentasan kemiskinan. Yakni, dengan melakukan kebijakan terintegrasi antar kementerian dan departemen di pemerintahan daerah.
Sementara pemerintahan sebelumnya justru tersebar di berbagai kementerian dan departemen sehingga kebijakan yang kebanyakan berupa bantuan langsung sering salah sasaran dan evaluasi akan program juga sulit dilakukan.
Sukamdi mengungkapkan pemerintah hari ini juga memiliki dana desa yang cukup besar yang sebenarnya bisa menjadi pengungkit bagi kemiskinan yang kebanyakan juga berada di desa.
“Kalau melihat data BPS ini kita bisa katakan berarti masih ada yang masalah di eksekusi program. Orang terbawah dalam jurang kemiskinan belum bisa ditarik, pemerintah bisa evaluasi dana desa, mendagri evaluasi kebijakan APBD. Banyak saya dengar pemda juga masih sulit mengeksekusi pengeluaran berbasis program yang terintegrasi antardepartemen ini. Mereka masih biasa by pos belum program,” kata Sukamdi.
BPS merilis jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2016 turun menjadi 10,86 persen atau 28,01 juta orang. Meski menurun, BPS menilai persentase penduduk miskin Maret 2016 perlu diwaspadai lantaran masih mendekati level 11 persen. (lihat infografis)
Catatan BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia Maret 2016 turun dibandingkan pada September 2015 yang sebesar 11,13 persen atau 28,51 juta orang. Jumlah tersebut juga berkurang dibandingkan dengan Maret 2015 yang sebesar 11,22 persen atau 28,59 juta orang.
Berdasarkan wilayah, jumlah penduduk miskin daerah perkotaan pada Maret 2016 tercatat 10,34 juta penduduk, turun 0,28 persen dibandingkan September 2015 dan turun 0,31 secara year-on-year (YoY). Begitu juga dengan jumlah penduduk miskin di perdesaan pada Maret 2016 sebanyak 17,67 juta, turun 0,22 persen dibandingkan September 2015 dan turun 0,27 persen YoY.
Makin Parah
Menurut BPS, tingkat kemiskinan yang terjadi pada wilayah perdesaan di Indonesia pada periode Maret 2016 semakin dalam dan parah.
Kepala BPS Suryamin menyatakan Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 1,84 pada September 2015 menjadi 1,94 pada Maret 2016. Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,51 menjadi 0,52 pada periode yang sama.
Sedangkan untuk wilayah perdesaan, Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 2,40 menjadi 2,74 dan Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,67 menjadi 0,79.
Pada wilayah perkotaan Indeks Kedalaman Kemiskinan justru turun dari 1,29 menjadi 1,19 dan Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,35 menjadi 0,27.
“Kami menduga di perdesaan terjadi peningkatan kedalaman dan keparahan kemiskinan, sehingga secara rata-rata di desa meningkat,” jelas Suryamin.
Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi pula ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
BPS menggunakan garis kemiskinan sebesar 354.386 rupiah per kapita per bulan per Maret 2016 untuk menghitung penduduk miskin. Garis kemiskinan itu meningkat 7,14 persen dari 330.776 rupiah per kapita per bulan per Maret 2015.
Suryamin menuturkan, ada tiga faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Pertama, garis kemiskinan desa cukup tinggi, seiring dengan inflasi yang sulit dikendalikan.
“Garis kemiskinan desa lebih tinggi karena inflasi desa lebih tinggi dari perkotaan, sehingga di luar Jawa distribusinya perlu jarak yang jauh dan waktu lama sehingga menyebabkan adanya margin perdagangan,” papar dia.
Kedua, warga perdesaan lebih banyak mengkonsumsi produk yang berasal dari kota. Misalnya mi instan, susu, dan produk lainnya. Ketiga, pembelian barang dilakukan secara eceran sehingga membuat harga menjadi lebih mahal dibandingkan pembelian dalam jumlah besar.
“Pembeliannya dilakukan eceran, seperti beli satu mi instan dengan satu dus kan harganya beda. Sehingga menyebabkan harganya lebih mahal, sehingga inflasi di pedesaan lebih tinggi dari perkotaan,” jelas Suryamin.
Redistribusi Lahan
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, menegaskan di tengah kemiskinan yang meningkat, kekeringan panjang, dan kesejahteraan petani yang tak terpenuhi, pemerintahanan Jokowi-JK harus mempercepat pelaksanaan redistribusi lahan yang jadi bagian dari pembaruan agraria yang terkandung dalam Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
“Pembaruan agraria adalah perubahan struktural, berbeda dengan hanya sekedar meredistribusikan lahan. Pembaruan agraria yakni menata kembali penguasaan dan kepemilikan sumber-sumber agraria, salah satunya tanah,” tegas Henry.
“Ketika pembaruan agraria 9 juta hektar dilaksanakan, maka petani tak bertanah akan memiliki tanah. Dengan itu kemiskinan akan berkurang dan kesejahteraan petani berdasarkan nilai tukar petani (NTP) akan meningkat,” papar Henry.
Selain itu, lanjut dia, seiring dengan kemampuan penduduk perdesaan untuk memenuhi kebutuhan bahan makanannya sendiri dari lahan pembaruan agraria tersebut, maka tingkat inflasi di perdesaan berpotensi menurun. Inflasi merupakan faktor yang bisa menekan kesejahteraan penduduk perdesaan.
Henry menambahkan di tengah kondisi perekonomian global sekarang ini, untuk mengentaskan kemiskinan pemerintah harus segera menjalankan mendistribusikan lahan yang jadi bagian dari pembaruan agraria.
“Pembaruan agraria adalah syarat utama terwujudnya kedaulatan pangan yang akan menyangga implementasi visi Trisakti, Nawacita dan RPJMN 2015-2019 pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla,” ujar Henry.
Sukamdi juga menyarankan di level makro, pemerintah juga perlu segera mengubah kebijakan ekonomi yang berbasis impor dan mendorong konsumsi karena rakyat miskin tidak bisa mengakses sama sekali ekonomi yang tumbuh karena dua hal tersebut.
Buruh tani, buruh gendong, dan pekera serabutan, serta penduduk di level itu bisa ikut ditarik naik dengan kebijakan yang tepat untuk mereka. Pendidikan anak mereka penting, kesehatan penting, tapi juga sedikit akses mereka pada sembako murah dan pendapatan harian terjaga.
“Di sinilah Dana Desa juga semestinya berperan mendorong ekonomi desa. Infrastruktur jangan hanya jalan, tapi juga yang orang paling miskin di desa bisa mendapat akses lebih. Jalan halus hanya dinikmati yang punya motor dan mobil. Ini yang paling miskin pakai sepeda,” kata Sukamdi.
Peran Dana Desa
Sebagaimana dikabarkan, Dana Desa langsung dari APBN untuk dikelola masyarakat desa adalah salah suatu bukti konkrit bahwa Pemerintahan Jokowi menjalankan janjinya untuk membangun dari pinggiran dan desa-desa.
Tahun ini, Dana Desa dinaikkan jumlahnya menjadi 46,9 triliun rupiah, atau dua kali lipat lebih besar dibanding 2015 sebesar 20,7 triliun rupiah. Artinya, setiap desa akan mengelola uang secara mandiri sebesar 500-800 juta rupiah. Bahkan, pemerintahan Jokowi sudah membuat rancangan, tahun 2017 Dana Desa dinaikkan lagi menjadi 81,1 triliun rupiah sehingga masyarakat desa sudah bisa mengelola Dana Desa lebih dari 1 miliar rupiah per desa.
“Ini dari Dana Desa yang baru pertama kali dalam sejarah republik Indonesia. Belum lagi ada Alokasi Dana Desa (ADD) yang besarannya 10 persen dari APBD kabupaten/kota. Sudah jelas dan sangat nyata betapa pemerintahan Jokowi-JK memberikan perhatian penuh kepada desa,” ujar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar.
Dana Desa juga terbukti mampu menghidupkan geliat perekonomian desa sehingga punya daya tahan terhadap krisis. Ketika banyak pihak memprediksi masyarakat desa akan kelimpungan ketika terjadi krisis ekonomi global, maupun adanya kenaikan harga BBM tahun 2015, ternyata masyarakat desa tetap punya daya tahan. Hal ini antara lain karena Dana Desa bisa dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan yang bersifat padat karya.
Dana Desa digunakan membangun infrastruktur desa seperti jalan desa, irigasi, sanitasi, jalan usaha tani, embug, dan proyek infrastruktur desa lainnya. Kemudian pembangunan sepenuhnya memaksimalkan potensi desa.
Tenaga kerjanya masyarakat desa setempat, bahan baku dari desa setempat, peralatannya juga dari desa, sehingga Dana Desa benar-benar berputar di desa.
“Dana Desa ini benar-benar cash for work dan dirasakan masyarakat dengan program yang sepenuhnya ada di desa. Tidak lagi hanya program pusat yang sekedar menetes ke desa. Kebijakan Dana Desa ini termasuk kebijakan radikal yang diterapkan pemerintahan Jokowi-JK,” tandas Menteri Marwan. [] YK/SB/WP
*Sumber: Laporan Ekonomi Koran Jakarta Edisi Spesial 17 Agustus 2016.