KOMPAS – Nama Jember, Jawa Timur, melejit setidaknya di tingkat nasional setelah beberapa tahun menyelenggarakan Jember Fashion Carnaval. Kegiatan budaya yang berlangsung setiap tahun itu sudah menjadi identitas baru kota Jember.
Solo memang sudah menjadi kota budaya. Namun, kegiatan budaya Solo Carnival dan Solo Car Free Day yang muncul beberapa tahun belakangan ini semakin meyakinkan kota ini bahwa kebudayaan merupakan salah satu pendorong pembangunan daerah.
Dengan dilarangnya mobil masuk ke Jalan Slamet Riyadi pada hari Minggu, jalan terlebar di Solo itu menjadi arena segala kegiatan masyarakat. Kekosongan jalan digunakan untuk perdagangan aneka macam sampai berbagai kegiatan seni budaya sebagai tumpahan ekspresi masyarakat. Bahkan, protes atau kritik untuk pemerintah pun sering muncul di kegiatan ini.
Yogyakarta meskipun memiliki julukan kota budaya, tidak berhenti dan terbuai dengan identitas itu. Kesadaran budaya dapat menjadi titik pembangun daerah, menjadi semangat untuk terus mengambangkan seni budaya. Bukan ide pemerintah, tetapi yang hidup adalah gerakan-gerakan komunitas masyarakat.
Kegiatan yang sampai kini bertahan dan cukup mendunia adalah ARTJOG yang berlangsung tiap tahun. Perupa berbagai negara memamerkan karyanya di Taman Budaya Yogyakarta, tempat berlangsungnya ARTJOG. Bahkan, dalam ARTJOG ke-8 tahun 2015, Yoko Ono (70), istri penyanyi legendaris John Lennon, juga ikut memamerkan karya rupanya pada acara itu.
Fantastis! Nilai transaksi jual-beli pameran itu mencapai miliaran rupiah. Kehadiran pencinta seni rupa dari sejumlah negara sangat meramaikan pasar seni ini.
Kulon Progo mulai kuat menyadari bahwa budaya bisa menjadi alat pembangunan daerah sejak Hasto Wardoyo menjadi Bupati Kulonprogo. Secara frontal senam Indonesia diganti dengan Senam Angguk yang diambil dari gerakan seni tradisi setempat Angguk yang sudah mendarah daging di dalam masyarakat pedesaan Kulon Progo. Seni ini menggunakan iringan gamelan dan rebana gabungan dari seni Jawa dan seni Islami. Iramanya yang konstan dan bernada gembira cocok untuk menjadi iringan gerak senam dengan sumber koreografi lokal, yaitu Angguk.
Pemerhati kebudayaan dan juga dramawan, Butet Kartaredjasa, menyatakan, jika kebudayaan tidak dimaknai sebagai kesenian saja, tetapi juga nilai-nilai hidup yang tumbuh di dalam masyarakat, maka yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo melalui program memakai batik produk lokal bagi PNS dan bedah rumah bagi warga merupakan gerakan budaya.
Substansi program itu adalah akar kebudayaan, yaitu gotong royong. Gotong royong adalah nilai dasar manusia Jawa. Itulah yang kemudian menggerakkan semuanya, menyertai instrumen birokrasi yang penuh panduan.
"Di sini, Bupati Hasto sangat kreatif memadukan nilai budaya dengan kaidah birokrasi yang ujung-ujungnya melahirkan dampak ekonomi bagi masyarakatnya," ucap Butet.
Butet menyatakan, kebijakan berpijak kebudayaan juga terlihat pada Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, dan lain-lain. Mereka membaca kekuatan budaya lokal dan mengolah kekuatan tersebut sebagai energi untuk menggerakkan kebijakannya.
Semua itu membuktikan bahwa nilai-nilai budaya dapat menjadi sumber kreativitas dalam pembangunan, terutama jika kesempatan berada di tangan pemimpin yang cerdik, kreatif, dan punya keberanian melakukan terobosan.
Nawacita
Budi Subanar SJ, dosen pasca sarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, mengemukakan hal senada dengan Butet. Ia menyatakan, kebudayaan sangat mampu menjadi alat pembangunan daerah.
Daerah dihuni oleh komunitas masyarakat, termasuk komunitas budaya. Kehadiran komunitas budaya dalam bentuknya yang formal dan komunitas yang menggantungkan naluri budaya adalah roh dan jiwa yang menghuni, menginspirasi dan merefleksikan situasi daerah setempat. Artinya, keberadaan gerak dan dinamika produktif dari setiap daerah bergantung pada komunitas-komunitas itu.
Justru yang pantas dipertanyakan, menurut Subanar, apakah pemerintah pusat dan daerah turut menopang dan mempunyai strategi kebudayaan yang mampu menopang dan bersinergi dengan lembaga-lembaga komunitas di dalam masyarakat tersebut. "Jelas di daerah mana pun, semua menempatkan dana untuk memperbesar ekonomi. Tidak untuk kebudayaan," kata Subanar.
Dalam kaitan itu, Subanar sesungguhnya ingin menyatakan, peran pemerintah sangat tipis untuk memuliakan kebudayaan. Namun, sebagaimana wataknya, kebudayaan akan terus mengalir, mengemuka tanpa bergantung pada pemerintah. Kebudayaan akhirnya muncul sebagai swadaya, entah dalam bentuk upacara doa untuk negara, upacara ritual ruwat bumi Nusantara, atau lainnya.
Contoh nyata adalah Merti Code di Yogyakarta, upacara pemuliaan Sungai Code agar senantiasa bersih dan terjaga lingkungannya agar tak selalu menjadi petaka banjir. Bentuknya adalah bersih-bersih sungai dan menjaga kesakralan sumber air yang ada agar tak gampang dirusak oleh manusia.
Upacara itu sesungguhnya penjagaan lingkungan oleh masyarakat itu sendiri. Dalam kaitan gerakan budaya masyarakat inilah, pemerintah sesungguhnya dididik oleh kebudayaan.
Pande Kutanegara, antropolog dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan, masih ada ketidaksamaan pandangan dan pola pikir dalam melihat kebudayaan daerah. Ada sekelompok kecil masyarakat yang menganggap kebudayaan bukan sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan manusia. Bahkan, sering kali dipertentangkan dengan nilai-nilai ketuhanan.
Sebenarnya keberadaan nilai-nilai dalam kebudayaan daerah dapat digunakan untuk menopang dan memacu pertumbuhan dan pembangunan di daerah. Salah satu contoh adalah nilai-nilai penjagaan tentang keindahan dan seni dapat dimanfaatkan untuk dilaksanakan berbagai event dan festival di setiap daerah.
Bali, Yogyakarta, Solo, Jember, Tenggarong, Wamena, dan Sentani telah memelopori pemanfaatan nilai keindahan dan seni yang dapat digunakan sebagai acara penting untuk menjaga kebanggaan dan kebersamaan masyarakat setiap daerah. Akan tetapi, bentuk dan jenis seni yang ditampilkan lebih banyak berupa kegiatan yang "hanya menghabiskan anggaran" dibandingkan dengan bertujuan lebih dalam lagi, yakni membangun kebudayaan di daerah.
Menurut Pande, Presiden Joko Widodo rupanya telah menemukan bahwa persoalan mendasar bangsa ini dan sekaligus menjadi akar berbagai persoalan bangsa adalah masalah kebudayaan. Program Nawacita yang dicanangkan Joko Widodo adalah tentang revolusi karakter bangsa dengan memperteguh kebinekaan, eksplisit menunjukkan kesadaran peran penting kebudayaan sebagai fondasi pembangunan Indonesia.
Dengan Nawacita, pemerintah memberikan peran yang lebih besar terhadap kebudayaan daerah dalam pembangunan daerah. Sayangnya, tidak semua pemerintah daerah mampu merumuskan bentuk dan jenis kebudayaan yang dapat memperkuat identitas lokalnya dan penggerak pembangunan di setiap daerah.
Masih banyak kendala yang merintangi kebudayaan untuk mampu menjadi bagian dari sebuah perjuangan membangun daerah yang punya watak. Namun, kebudayaan adalah cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan tenang dan pasti akan terus merayap menyusup dan terus merasuki kehidupan. Meskipun masih menjadi bayang- bayang, kebudayaan tak bisa hancur hanya karena kepongahan pembangunan. [] Thomas Pudjo Widijanto
*Sumber: Harian Kompas Cetak (2/1) | Ilustrasi Merti Code/wordpress