Yogyakarta, PSKK UGM — Jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan jumlah pengaduan pada 2012 mencapai 216.156 kemudian naik lagi pada 2013 menjadi 279.760 aduan dan pada 2014 sebanyak 293.220 aduan. Meski begitu, meningkatnya jumlah pengaduan tidak serta merta menunjukkan kasus kekerasan terhadap perempuan semakin banyak.
Menurut Justina Rostiawati, Konsultan Lembaga PBB Bidang Perempuan (UN WOMEN), meningkatnya jumlah pengaduan tersebut sebetulnya memberikan gambaran bahwa semakin banyak perempuan yang berani datang dan mengadu ke lembaga-lembaga pengada layanan seperti kepolisian, lembaga bantuan hukum, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), rumah sakit, LSM, pengadilan negeri maupun pengadilan agama.
Selama ini perempuan korban kekerasan cenderung bungkam, tidak mau mengadu atau meminta pertolongan bahkan ke pihak berwajib seperti kepolisian dan pengadilan. Mengapa demikian? Perempuan yang menjadi korban seringkali mengalami kekerasan berlapis. Dalam kasus pemerkosaan misalnya, tidak hanya mendapatkan kekerasan fisik, perempuan juga mengalami kekerasan secara psikis. Pada saat mengakses pelayanan dan penanganan lebih lanjut pun, dia kembali mengalami kekerasan karena penyedia layanan tidak sensitif terhadap korban. Belum lagi sangkut pautnya dengan stigma di masyarakat bahwa korban memang ‘perempuan yang kotor atau nakal’ atau korban sudah sepantasnya mengalami kekerasan.
Kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan yang kompleks karena berkelit kelindan dengan banyak aspek. Adalah sebuah kemajuan pula, perempuan sudah mulai berani untuk mengadu. Semakin banyaknya pengaduan, pada akhirnya menuntut lembaga-lembaga yang fokus menangani perempuan korban kekerasan meningkatkan kualitas pelayanannya.
“Lembaga penyedia layanan dan para pengambil kebijakan harus sensitif dan mengedepankan keberpihakannya terhadap korban kekerasan. Dalam upaya meningkatkan kualitas layanan tersebut, maka studi pemetaan pembiayaan atau costing ini perlu dilakukan,” kata Justina saat Pelatihan Enumerator “Studi Pemetaan Costing Standar Pelayanan Minimal Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan” di Ruang Seminar G-7, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Selasa (16/6).
Sementara itu, Konsultan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA), Margaretha Hanita dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan, Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan tolak ukur yang dipakai untuk melihat sejauh mana pemerintah bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan atau memenuhi hak-hak korban.
Ada lima pelayanan yang diatur di dalam SPM, yakni pelayanan pengaduan, pelayanan rehabilitasi sosial, pelayanan penegakan hukum dan bantuan hukum, serta pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial. Jika mengalami kekerasan, perempuan maupun anak yang menjadi korban bisa melakukan pengaduan ke Badan Pemberdayaan Perempuan maupun P2TP2A yang ada baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Selain itu, korban juga bisa melakukan pengaduan ke LSM maupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Begitu korban melapor atau melakukan pengaduan, biasanya ada asesmen kebutuhan korban yang dilakukan oleh manajer kasus. Dia akan melihat apa yang dibutuhkan oleh korban. Dia juga yang akan membagi akan dirujuk kemana, apakah ke pendampingan hukum atau ke pelayanan kesehatan,” jelas Hanita.
Di dalam studi pemetaan costing SPM yang merupakan kerjasama antara UN WOMEN, KPP-PA, dan PSKK UGM ini juga akan mengkaji tentang pelayanan penegakan hukum, khususnya yang terkait dengan kasus pidana. Hanita menambahkan, untuk kasus perdata seperti pembagian waris, pengasuhan anak, perceraian, dan lain sebagainya tidak masuk di dalam ruang lingkup studi ini.
Untuk pelayanan penegakan hukum korban ataupun pendamping biasanya melaporkan kejadian perkara ke salah satu unit di kepolisian yang khusus menangani perempuan dan anak korban kekerasan. Unit yang bernama Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) ini menurut peraturan Kapolri memang baru diprioritaskan untuk dibentuk di polda dan polres. Setelah melapor, polisi akan membuat berita acara pemeriksaan atau BAP.
“Di dalam proses tersebut korban harus mendapatkan pendampingan oleh orang yang memiliki kualifikasi. Bukan hanya pekerja sosial, kadang-kadang pendampingnya juga bisa seorang psikolog maupun pengacara. Ada kalanya juga dibutuhkan saksi ahli untuk memperkuat poin-poin di dalam kasus kekerasan,” kata Hanita saat menjelaskan mekanisme koordinasi dalam pelayanan penegakan hukum. [] Media Center PSKK UGM.