KOMPAS — Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya tiap hari dilanda kemacetan. Kota yang lebih kecil, seperti Yogyakarta atau Surakarta, juga sama saja. Hampir tiap hari, mencari ruas jalan yang kosong terasa susah. Banyak penduduk yang kini lebih merasa nyaman berada di rumah. Mereka jarang bepergian. Terpaksa keluar rumah hanya untuk ke kantor atau sekolah.
Ternyata kemacetan bukan hanya milik kota-kota di Jawa. Mereka yang pernah mengunjungi Medan, Makassar, atau Manado sama saja kondisinya. Jumlah kendaraan yang lalu lalang di jalan sudah tidak sebanding lagi dengan panjang dan lebar jalan.
Terakhir ketika Kompas mengunjungi Manado, kondisinya tidak lebih baik. Kota yang indah ini sudah sangat padat dengan kendaraan umum dan pribadi. Motor, mobil, dan angkutan tradisional berebut ruang jalan yang sebagian terkelupas. Pedagang kaki lima dengan tanpa rasa bersalah menyita sebagian badan jalan. Di tengah panas terik pertengahan bulan Maret, pengemudi kendaraan yang terjebak kemacetan tertekan dengan suara klakson mobil polisi meminta jalan.
Tren kota di Indonesia ternyata semua sama. Kota makin berkembang, kota menjadi daya tarik bagi penduduk di pedesaan (kabupaten). Seperti dikatakan Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia Vicky Lumentut, jumlah kota 98 dan jumlah kabupaten 415. Akan tetapi, 56 persen penduduk bertempat tinggal di kota, hanya 44 persen yang berada di kabupaten.
Ketidakseimbangan ini tampaknya sulit untuk diatasi sehingga pada tahun 2025 diperkirakan penduduk perkotaan akan mencapai 60 persen. Dengan luas yang relatif tidak bertambah, kepadatan penduduk perkotaan jelas merupakan pangkal dari semua permasalahan.
Penduduk yang padat akan menyebabkan ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan dalam berbagai kegiatan ekonomi. Harga rumah makin naik. Pengangguran sulit diatasi. Sampah akan lebih banyak menumpuk di berbagai sudut jalan. Kemacetan menjadi makanan sehari-hari yang memboroskan tenaga dan waktu penduduk perkotaan. Pada akhirnya, kejahatan pasti akan meningkat.
Untuk mengatasi problem tersebut, kota tentu tidak bisa sendirian. Pemerintah pusat perlu melakukan intervensi kebijakan, misalnya dengan berusaha membangun fasilitas yang sama untuk pedesaan (kabupaten). Pembangunan sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi harus dibuat lebih merata. Tentu saja hal ini dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja di kabupaten beserta dengan pembangunan fasilitas yang menjadikan mereka makin setara dengan kota.
Intervensi pemerintah pusat untuk membantu mengurai permasalahan yang dihadapi perkotaan masih belum cukup. Guru Besar Institut Teknologi Bandung Prof Suhono H Supangkat berharap pemerintah mengadopsi konsep smart city (kota cerdas) untuk menyelesaikan problem perkotaan masa kini.
Dulu kita pernah mengenal apa kota hijau (green city), yaitu kota yang peduli dengan lingkungan sehat, kota yang mampu mengatasi kepungan asap kendaraan bermotor. Kota cerdas sebenarnya perkembangan lebih lanjut dari kota hijau dengan mengaplikasikan kekuatan teknologi informasi dan komunikasi.
Sebenarnya sudah banyak wali kota atau kepala daerah yang sadar betapa perangkat teknologi informasi sangat membantu mereka meningkatkan pelayanan kepada warga. Akan tetapi, di era otonomi daerah, kecerdasan kepala daerah terasa tidak cukup untuk membuat kota atau daerah yang dipimpinnya menjadi cerdas.
Beberapa waktu lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, banyak daerah perlu belajar dari kasus konflik antara Gubernur DKI Jakarta dan DPRD. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok hendak memakai e-budgeting untuk penyusunan anggaran. Hal itu ternyata tidak berjalan mulus karena DPRD berbeda pendapat.
Kota atau daerah yang cerdas memang perlu pemimpin yang cerdas, tetapi hal itu tidak cukup. Kota juga membutuhkan politisi cerdas yang mampu catch up dengan kemajuan zaman sehingga mereka bukan menjadi penghambat kemajuan yang pada akhirnya akan merugikan warga. [] Bambang Sigap Sumantri | bambang.sigap@kompas.com
*Sumber: Kompas cetak | Ilustrasi smart city/startupbootcamp.org