JAKARTA, KOMPAS — Dari 331 rancangan undang-undang yang masuk Program Legislasi Nasional 2010-2014, sebanyak 106 di antaranya dapat disahkan menjadi UU. Namun, kualitas sebagian UU tersebut belum sesuai harapan sehingga ada yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan UUD 1945.
Kepala Lembaga Administrasi Negara Agus Dwiyanto, dalam seminar nasional ”Arsitektur Baru Regulasi untuk Kesejahteraan Rakyat” di Jakarta, Rabu (3/9), menuturkan, buruknya kualitas legislasi itu antara lain disebabkan lemahnya kapasitas anggota DPR dan perspektif yang mereka miliki.
”Legislasi hanya dibuat sebagai program, bukan alat untuk memberdayakan warga,” kata Agus. Riset dan naskah akademis dalam penyusunan RUU tidak dilakukan optimal.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menambahkan, masalah tersebut juga disebabkan buruknya kapasitas teknis sistem legislasi yang melingkupinya.
Dalam konsep sistem pemerintahan presidensial, menurut Zainal, presiden boleh mengusulkan rancangan undang-undang (RUU), tetapi tidak boleh ikut membahas. Namun, ketika RUU itu akan disahkan, presiden memiliki hak veto.
Sementara di Indonesia, Presiden bersama DPR mempunyai kewenangan bersama membentuk dan menyetujui sebuah RUU. ”Selain membutuhkan waktu lebih lama, menurut saya, sistem yang dipakai di Indonesia membuat selama pembahasan RUU muncul kemungkinan tawar-menawar kepentingan dan tidak mengacu pada Pancasila dan UUD 1945,” tutur Zainal.
Sistem dua kamar (bikameral) juga sekadar teori di Indonesia karena wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di bidang legislasi amat terbatas. Padahal, dalam Pasal 22D UUD 1945 tertulis, DPD dapat mengajukan dan membahas RUU terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, serta pengelolaan sumber daya alam.
Kesadaran baru
Ketua Asosiasi Sarjana dan Praktisi Administrasi Fadel Muhammad mengatakan, diperlukan perspektif dan kesadaran baru dalam legislasi. Perspektif ini menghapuskan berbagai peraturan yang berlebihan.
”Perlu aturan yang lebih baik dengan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembuatan UU juga harus dilakukan secara proporsional, transparan, dan targetnya jelas, yaitu untuk kesejahteraan rakyat,” kata Fadel.
Selain itu, menurut Fadel, selama pembuatan UU, pemerintah juga perlu melakukan prioritas dan evaluasi. Ada pasal dalam UUD 1945 yang harus selalu menjadi acuan, yaitu Pasal 27, 28, 29 (hak sipil dan politik), 31, 32, 33, dan 34 (jaminan hak sosial, ekonomi, dan budaya).
”Ini tantangan yang harus dijawab pemerintahan mendatang. Proses rekrutmen legislator perlu dikontrol oleh media dan masyarakat agar kualitas legislasi membaik,” ujar Fadel. (A05)
*Sumber: Harian KOMPAS, 4 September 2014 | Foto: kkp.go.id