Yogyakarta, PSKK UGM – Sebagai salah satu provinsi yang perekonomiannya ditopang oleh sektor jasa dan pariwisata, pembangunan fasilitas penunjang seperti hotel begitu marak di Yogyakarta. Fasilitas meeting, incentive, conference, dan exhibition (MICE) yang disediakan hotel disebut turut mendorong pertumbuhan di sektor penyediaan akomodasi, pengolahan makanan dan minuman, hingga kerajinan. Namun, kritik terus bermunculan. Banyak kalangan menilai, pembangunan hotel belum berkontribusi terhadap pertumbuhan yang inklusif karena baru dapat dinikmati oleh kalangan tertentu, terutama yang berpenghasilan tinggi.
Benarkah maraknya pembangunan hotel justru menciptakan ketimpangan? Jika benar, seberapa besar ketimpangan yang diakibatkan? Agar tidak sebatas anekdot, diperlukan studi atau kajian empiris untuk mengidentifikasi pola hubungan antara sektor perhotelan dengan sektor usaha lainnya. Dampak ekonomi dari keberadaan sektor perhotelan perlu ditinjau kembali. Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, bisa menggunakan Analisis Input-Output (IO) untuk melihat keterkaitan keberadaan hotel dengan pendapatan, kesempatan kerja maupun parameter ekonomi lainnya di Yogyakarta.
Hal itu disampaikan oleh Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Evita Hanie Pangaribowo, MIDEC dalam presentasinya saat Diskusi Terbatas “Strategi Pengentasan Kemiskinan dan Pengurangan Ketimpangan DIY”, Jumat (24/6). Hadir dalam diskusi tersebut, Walikota Yogyakarta, Drs. H. Haryadi Suyuti, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta, Ir. Eddy Muhammad serta jajaran pimpinan PSKK UGM.
“Perlu kajian empiris, apakah trickle down effect yang terjadi memang hanya terpusat di kelompok pendapatan tinggi sehingga tidak berimbas pada kelompok pendapatan rendah atau trickle down effect tersebut lebih kecil daripada pengaruh kondisi ekonomi makro, misalnya karena inflasi,” kata Evita.
Secara umum, tren ketimpangan di Kota Yogyakarta meningkat. Pada 2007 indeks koefisien gini Kota Yogyakarta menunjukkan angka 0,37 dan sempat turun menjadi 0,36 pada 2008. Namun, pada tahun-tahun berikutnya indeks koefisien gini cenderung naik. Pada 2015 indeks koefisien gini Kota Yogyakarta sudah berada pada angka 0,43. Secara nasional, angka ketimpangan memang menunjukkan tren peningkatan. Bisa jadi, ketimpangan di daerah merupakan refleksi dari ketimpangan nasional.
Lalu bagaimana ketimpangan bisa terjadi? Evita mengatakan, ada tiga tipe kelompok untuk melihat hal itu. Kelompok pertama adalah mereka yang tingkat pendapatannya rendah karena memiliki initial endowment atau sumber daya bawaan seperti tingkat pendidikan dan status gizi yang rendah. Produktivitas mereka pun relatif rendah. Kelompok kedua adalah mereka yang tingkat pendapatannya lebih tinggi dari kelompok satu. Sementara kelompok ketiga adalah mereka dengan tingkat pendapatan tinggi karena initial endowment serta produktivitas yang juga lebih tinggi. Ketimpangan terjadi karena adanya perbedaan initial endowment serta produktivitas antarkelompok ini.
Evita menambahkan angka ketimpangan dapat terus meningkat. Pertama, karena initial endowment serta peluang yang timpang. Kedua, karena adanya perbedaan produktivitas dan imbalan misalnya, perbedaan upah dan perbedaan iklim investasi. Ketiga, kombinasi antara faktor initial endowment, peluang, dan imbalan. Keempat, karena terjadi guncangan yang mengikis kemampuan rumah tangga, misalnya krisis ekonomi.
“Salah satu cara untuk mengentaskan atau mengurangi jarak ketimpangan adalah dengan menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan memperoleh pendapatan yang lebih baik, kesejahteraan juga naik, dan ketimpangan berkurang,” jelas Evita.
Di Kota Yogyakarta, angka pengangguran terbukanya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya di DIY. Data BPS Provinsi DIY menunjukkan, angka pengangguran terbuka per Agustus 2014 Kota Yogyakarta mencapai 6,35. Angka ini masih lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Sleman (4,21), Kabupaten Bantul (2,57), Kabupaten Kulonprogo (2,88) maupun Kabupaten Gunungkidul (1,61).
Selain penciptaan lapangan kerja, strategi pengurangan ketimpangan lainnya adalah mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik, terutama bidang pendidikan dan kesehatan. Kemudian, peningkatan keterampilan tenaga kerja, perlindungan yang efektif dari guncangan ekonomi, dan penyelarasan pajak dan belanja pemerintah untuk program penurunan ketimpangan.
“Proporsi pengeluaran pemerintah masih didominasi untuk belanja pegawai, sementara untuk bantuan sosial masih sangat kecil bahkan cenderung turun. Secara umum, tren bantuan sosial memang turun namun, melihat magnitude, Kota Yogyakarta yang paling banyak turun,” jelas Evita lagi. [] Media Center PSKK UGM | Photo/Mural "Jogja Ora Didol"/Anti-Tank Project