JAKARTA, KOMPAS — Akses informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas di Indonesia belum ramah remaja. Meski banyak informasi di internet, hanya 20-25 persen dari jumlah total penduduk yang bisa mengakses.
"Selain penyebaran internet belum merata, sumber informasi di internet belum tentu kredibel karena tak ada pihak yang mempertanggungjawabkannya," kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Ignatius Haryanto, dalam dialog "Remaja, Seksualitas, dan Teknologi", Selasa (4/8), di Jakarta.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, hingga akhir 2014, pengguna aktif internet 88,1 juta orang, 49 persennya berusia 18-25 tahun.
Rutgers WPF Indonesia, lembaga yang fokus pada isu seksualitas dan kesehatan reproduksi, juga membuat riset tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi di Jakarta, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Hasilnya, sulit ditemukan informasi seksualitas kredibel dan ramah remaja. Informasi itu antara lain bahaya narkoba, infeksi menular seksual, kekerasan saat pacaran, perundungan, dan keragaman seksual.
Hasil riset oleh Ignatius menunjukkan rasa ingin tahu remaja pada kesehatan reproduksi tinggi. Namun, mereka sulit mendapat informasi itu karena dianggap tabu oleh masyarakat.
"Melalui pendidikan seks sejak dini, remaja bisa menentukan sikap dan argumentasi dengan dasar ilmiah," kata Ignatius.
Sebagai contoh, pengetahuan tentang keberagaman seks yang selama ini jadi bahan perundungan di media sosial. Remaja yang tahu bahwa orientasi seks ialah fenomena alamiah biasanya bisa lebih menerima dan menghormati cara hidup seperti itu.
Keterbatasan akses internet di Indonesia membuat upaya penyebaran informasi seksualitas tak harus lewat daring. Media penyebaran informasi seksualitas yang lain bisa berupa dialog di radio, artikel di koran dan majalah, serta brosur.
Dhyta Caturini, perempuan aktivis, menjelaskan, sebelum internet menyebar luas, seksualitas diajarkan kepada remaja sebagai hal mengerikan. "Ini pengalaman saya saat sekolah dulu. Menanyakan tentang seks di sekolah jadi hal memalukan," ujarnya.
Seiring perkembangan teknologi informasi, masalah yang timbul ialah kekerasan lewat internet. Bentuk kekerasan yang kadang tak disadari pelaku dan korban antara lain peretasan akun, ancaman di media sosial, dan pelecehan. "Kasus-kasus seperti ini belum ada perlindungan hukum jelas," kata Dhyta.
Beberapa sekolah mengadakan ekstrakurikuler terkait pendidikan seksualitas. Di SMKN 16 Jakarta Pusat, ada ekstrakurikuler Daku (Dunia Remajaku) yang menyosialisasikan pendidikan kesehatan reproduksi. [] (B06)
*Sumber: Harian Kompas, 6 Agustus 2015 | Ilustrasi pengguna internet/zonaomg.com