Banjarmasin, Detik Health – Data SDKI 2012 menunjukkan sebanyak 32 bayi dari 1.000 kelahiran meninggal karena sebab yang sebenarnya bisa dicegah. Untuk mencegah terjadinya hal ini perlu dilakukan perjuangan mulai dari posyandu.
Hal tersebut disampaikan Kepala BKKBN Prof dr Fasli Jalal, PhD, SpGK. Ia menekankan, posyandu menjadi tempat pertama untuk melihat apakah anak kekurangan vitamin, zat besi, atau bahkan cacingan. Sebab, 40 persen orang Indonesia masih cacingan.
"Kita minum obat cacing enam bulan sekali itu manfaatnya banyak lho. Kita terhindar dari kurang zat besi dan anemia karena cacing merampas darah di dalam perut kita," tutur Fasli di sela-sela acara GenRe Goes To Campus dan Dampak Napza Bagi Remaja di Kampus Akbid dan STIKES Sari Mulia, Jl Pramuka, Banjarmasin, Selasa (22/4/2014).
"Saya meneliti cacing di perut anak, malam diberi obat besoknya dilihat feses anak. Dari satu anak ditemukan 138 cacing. Tapi di Brasil anak memiliki kista yang di dalamnya ada 1.082 cacing," imbuh Fasli.
Oleh karena itu, ia mengingatkan jangan pernah para orang tua 'main-main' dengan cacing. Sebab, dengan terpantaunya apakah anak cacingan atau tidak bisa menjadi salah satu cara menghindari terjadinya kematian pada bayi dan balita di Indonesia. Caranya, dengan terus memantau gizi anak, rutin imunisasi, dan jaga kebersihan anak agar cacing tidak bisa masuk ke tubuh anak.
Selain Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (AKI) dikatakan Fasli juga menjadi masalah Indonesia dalam mencapai target Millenium Development Goal's (MDG's). Bagaimana tidak, AKI di Indonesia mencapai 359 per 100.000 menurut SDKI tahun 2012, jauh dari target yakni 102 kematian per 100.000 kelahiran.
"Kita berutang untuk mencapai MDG's 2015, utang kepada ibu dan anak kita, pada janji kita di dunia karena untuk mencapai target MDG's sangat sulit tapi tetap kita upayakan. Penduduk kita banyak, terutama remaja, jika remaja bisa mendapat akses pendidikan dan pekerjaan yang baik, jumlah kematian ibu dan anak Insya Allah bisa dikurangi," papar Fasli.
Menurutnya, ketika remaja paham tentang kesehatan reproduksi, bagaimana merencanakan dan merawat kehamilan serta persalinan. Bisa dihasilkan generasi yang berkualitas. Jangan sampai anak lahir di bawah 2,5 kg karena kurang gizi sehingga berakibat kurang berkembangnya sistem saraf kemudian pertumbuhan anak juga terganggu.
Pasalnya, anak yang kurang gizi selubung myelin di saraf otak tidak berkembang dengan baik sehingga membuatnya telat berpikir. Fasli menuturkan, sel otak tumbuh baik salah satunya ibu ajak anak bicara sejak dalam kandungan, si ayah juga mencium perut ibu. Kalau tidak ada rangsangan, sel-sel tidak berkembang dengan baik.
"Kita gencarkan bina keluarga balita supaya ibu dilatih untuk bisa merawat anaknya yang nanti akan tumbuh menjadi remaja. Tidak boleh anak kita meninggal sia-sia dan jangan sel otak yang diberikan ini disia-siakan," pungkasnya. [] Radian Nyi Sukmasari
*Sumber artikel: Detik Health, 22 April 2014 | Sumber foto: Istimewa