Yogyakarta, PSKK UGM – Pemerintah gencar melakukan program transmigrasi. Guna melancarkan program ini, 25 provinsi se-Indonesia digandeng untuk berkerja sama, khususnya dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan transmigran dan wilayah tujuan transmigrasi. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Djafar bahkan menargetkan lima tahun ke depan, sebanyak 3,5 juta kepala keluarga melakukan transmigrasi.
Wakil Direktur Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Drs. Pande Made Kutanegara, M.Si. dalam Workshop Sinergisme Perguruan Tinggi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Selasa (1/12) menyampaikan, pasca Orde Baru gaung program transmigrasi melemah, tidak seperti isu arus migrasi internasional oleh para tenaga kerja Indonesia.
Dalam materinya yang berjudul “Program Transmigrasi dan Peran Perguruan Tinggi di Indonesia: Perspektif Sosial Budaya”, Made menyampaikan beberapa tantangan dan peluang program transmigrasi dewasa ini. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah seperti saat ini, beragam kewenangan berada di tingkat pemerintah kabupaten maupun kota. Baik daerah pengirim maupun penerima transmigran bebas untuk menjalankan atau tidak menjalankan kebijakan transmigrasi. Bagi daerah tujuan khususnya, bisa menolak calon transmigran ke wilayahnya. Di lain sisi, isu tentang indigenous people atau penduduk asli daerah juga menguat sebagai basis pengembangan kebijakan di tingkat lokal maupun nasional.
Peluang dan tantangan lainnya, antara lain Undang-Undang Desa dan Dana Desa, adanya perubahan mode produktif transmigran dari pertanian menuju mode produksi industri dan jasa, serta rendahnya motivasi bekerja di sektor pertanian, terutama di kalangan para pemuda.
Made menambahkan, pemerintah perlu belajar dari kegagalan program transmigrasi di masa lalu. Tidak dipungkiri, program transmigrasi di masa lalu justru menimbulkan ketimpangan ekonomi di antara penduduk transmigran dengan penduduk asli daerah. Di beberapa tempat, ada segregasi sosial yang meruncing sehingga menjadi potensi konflik di antara kedua pihak.
“Apabila transmigran tersebut sukses, bisa memiliki dan mengelola sumber daya, sementara penduduk aslinya tidak, kecemburuan sosial bisa muncul. Tapi, jika transmigran tidak sukses dan lemah, justru persoalan ketenagakerjaan dan kemiskinan baru yang muncul,” kata Made.
Program transmigrasi sebaiknya tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan perekonomian para transmigran, namun juga memperkuat perekonomian wilayah setempat. Untuk itu, pemerintah bisa menggunakan pendekatan multidimensi dan berkelanjutan (sustainability). Pendekatan sosial, budaya, dan politik hendaknya menjadi hal penting yang dikembangkan dalam program transmigrasi ke depan.
Kesuksesan program transmigrasi sangat tergantung pada banyak faktor, Made menambahkan. Agar sukses, masing-masing pihak didorong agar mampu bekerja sama, saling berkoordinasi dan bersinergi. Pola perumusan dan pengambilan kebijakan transmigrasi yang top down sudah saatnya ditinggalkan. Para pemangku kepentingan seperti elit lokal dan penduduk asli daerah harus dilibatkan dalam mendesain dan mengelola program transmigrasi di daerahnya. Contohnya, kerja sama dalam melakukan pemetaan dan pengelolaan data soal potensi daerah tujuan migrasi baik fisik, ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
“Ini penting agar kita bisa mengetahui kriteria transmigran seperti apa yang harus diberangkatkan. Jangan sampai tidak sesuai dengan kebutuhan pengembangan wilayah di daerah tujuan transmigrasi,” kata Made lagi.
Selain keahlian, transmigran yang diberangkatkan juga perlu memiliki pemahaman multikultur yang baik. Tahu bagaimana bisa hidup bersama dan selaras dalam perbedaan. Untuk itu, formula kebijakan untuk mengembangkan rasa persaudaraan dan kebersamaan melalui proses asimilasi, akulturasi, hingga enkulturasi di daerah tujuan transmigrasi juga perlu dicari. [] Media Center PSKK UGM | Photo pemukiman transmigran/Istimewa