Jakarta, BKKBN — Begawan ekonomi Emil Salim punya sebuah ilustrasi sederhana untuk menggambarkan disparitas pembangunan di Indonesia. Penduduk yang mengalami kekuarangan harus dilihat seperti halnya seseorang yang terjebak di dalam lubang. Seperti orang kebanyakan, dia sendiri normal, memiliki otak, kondisi tubuhnya lengkap, memiliki kaki, tangan, kepala, otot, dan lain-lain. Yang menyebabkannya tidak berdaya adalah karena dia berada di dalam lubang.
“Lubang di Papua sangat dalam, sehingga orang Papua walaupun dia punya otot, otak, dan lain-lain, dia tidak bisa memberdayakan diri karena lubangnya sangat dalam. Di Jakarta, lubangnya itu dangkal. Dia cepat bisa keluar dari lubang,” Emil mencontohkan.
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu memberikan contoh tersebut saat menjawab pertanyaan peserta Pertemuan Ilmiah Kependudukan yang dihelat Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) di Bale Sawala, Kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Jatinangor Jawa Barat, 27 November 2014. Guru besar Fakultas Ekonomi (FE) Universitas (UI) ini membawakan topik bertajuk Dinamika Kependudukan Indonesia dan Pembangunan Berkelanjutan.
“Apa pokok masalahnya? Ruang lingkup manusia itu menjadi kunci dalam pembangunan. Kunci pembangunan adalah mengantarkan tali kepada orang yang berada di dalam lubang. Dan, dengan tali itu dia bisa naik, keluar dari lubang. Orang Papua bukan terbelakang karena otot, otak, dan sebagainya terbelakang. Dia terbelakang karena tidak adanya tali itu. Karena itu, pendekatan di Papua adalah konektivitas, aksesibilitas, infrastruktur didahulukan dulu. Dengan bagitu, informasi macam-macam bisa sampai kepada dia. Pendidikan, kesehatan, dan lain-lain bisa sampai kepada dia. Jadi, lemparkan tali ke berupa aksesibilatas, infrastruktur, komunikasi, supaya dia bisa keluar dari lubang itu,” tandas dia.
Kondisi tersebut, sambung Emil, berbeda dengan Jakarta yang tidak memerlukan tali itu. Yang dibutuhkan warga Jakarta adalah peningkatan kualitas diri. Kondisi berbeda juga bisa ditemukan di daerah lain, baik di Pulau Jawa sendiri maupun pulau lain di Indonesia. Dengan kata lain, dampak demografi tidak seragam di daerah. Karena itu, tidak diperlukan kebijakan kependudukan tunggal bagi daerah.
“Jadi, jangan anggap orang tidak berdaya karena kekuarangan dirinya. Tetapi, lingkungan yang mengakibatkan tertinggal itu. Karena itu, Bung Haryono (Suyono) pendekatannya ke orang. Mungkin di Papua bukan rumah sakit yang harus dibangun, tetapi seorang dokter yang mampu berjalan kaki mendekati orang yang sakit. Masalah kependudukan adalah dengan memperhitungkan ruang lingkup dia untuk maju,” imbuh penerima penghargaan bergengsi bidang lingkungan hidup Zayed Prize tersebut.
Butuh Roadmap Kependudukan
Dinamika kependudukan yang beragam itu, sambung Emil, membutuhkan pendekatan dan kebijakan berbeda satu sama lain. Pendekatan Papua sudah barang rentu berbeda dengan Jakarta. Pada saat yang sama, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan IPADI harus mampu membaca aktualitas dalam pembangunan. Naik turunnya pembangunan kependudukan harus disikapi secara cepat dan tepat.
Di sinilah Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup Kabinet Pembangunan III 1978-1983 ini menilai perlunya pendekatan politik dalam kebijakan kependudukan. Pembangunan tidak lepas dari perkembangan roda politik. BKKBN tidak lagi cukup menjalankan aktivitasnya pada taktis meningkatkan kesertaan ber-KB atau menurunkan kelahiran, tetapi memberikan edukasi politik kepada masyarakat. Pembangunan kependudukan memerlukan reorentasi.
“Jadi, BKKBN kalau berbicara, juga harus pandai berbicara dalam bahasa politik. Dia tidak berdiri sendiri. Dia tidak hanya pembanguan demografi, it’s total football. Ada dimensi ekonomi, politik, sosial, lingkungan, dan lain-lain. Berarti, IPADI dan BKKBN dari sekarang harus melakukan reorientasi berpikir. IPADI dan BKKBN harus punya roadmap mau ke mana kita menuju tahun 2030? tegas Emil.
Mengapa harus IPADI dan BKKBN yang merumuskan? Emil menegaskan dua institusi inilah yang dianggapnya mengetahui persoalan kependudukan di Indonesia. Maka, lembaga ini pula yang mengetahui kondisi apa yang diinginkan dalam beberapa tahun ke depan. Peta jalan kependudukan harus menjawab ketimpangan yang ditimbulkan dinamika kependudukan di Indonesia Timur dan Barat maupun ketimpangan antara desa dan kota. Mengapa perhatian harus diberikan kepada periode 2015-2035? Karena pada kurun itulah Indonesia mencapai periode puncak bonus demografi.
“Kita mengambil 2015-2030 karena ada bonus demografi, jumlah usia muda jauh lebih besar dari jumlah penduduk tua dan anak. Logikanya adalah bagaimana meningkatkan produktivitas masyarakat usia 15-65 tahun. Tidak perlu diperdebatkan bonus demografi itu kapan, it’s nonsense, bukan itu masalahnya. Masalah kita adalah bagaimana memproduktifkan bonus demografi ini, dan bonus demografi ini tidak merata. Menumpuk di Jawa, Bali, Sumatera, tapi zero di Timur. Bagaimana inequaluty rural-urban juga diatasi, sehingga urbanisasi bisa dicegah,” tandas Emil.(NJP)
*Sumber: BKKBN | Photo: Harian Terbit