KOMPAS – Darminah (58) lega karena akhirnya bisa mencairkan dana kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi sebesar Rp 400.000, pekan lalu. Warga Plaosan, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, itu menggunakan uang tersebut untuk modal berjualan lontong sayur.
”Beruntung kartunya ditebus sama Pak Camat. Uangnya sudah saya ambil. Ya diolor-olorbuat jualan begini. Saya kapok tak akan menggadaikannya lagi. Dulu kepepet,” katanya sambil melayani pesanan lontong sayur ketika ditemui di rumahnya, Selasa (2/12).
Sekitar tujuh bulan lalu, Darminah menggadaikan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) miliknya di sebuah lembaga ”gadai” milik perseorangan di wilayah Kecamatan Babat. Kartunya ”dihargai” Rp 125.000 dan pada bulan berikutnya dia harus membayar bunga Rp 25.000. Uang hasil gadai itu digunakan untuk berobat karena matanya tidak bisa melihat dengan jelas.
”Saat itu mata saya, kalau melihat orang atau benda, tampak samar-samar,” ujarnya.
Dia menggadaikan KPS setelah mendengar cerita tetangganya bahwa KPS bisa digadaikan untuk mendapatkan pinjaman uang. Hal itu terpaksa dia lakukan karena harus menghidupi diri sendiri setelah suaminya, Ngadi, meninggal. Hingga kini, dia bersama anaknya, Elikah, dan menantunya menumpang di rumah adiknya, Suwari. Padahal, di rumah itu, Suwari juga tinggal bersama anak-anaknya.
Rumah berukuran sekitar 5 meter x 10 meter itu dihuni sembilan orang. Kamar mandi merangkap WC ada di sudut belakang berdinding anyaman bambu. Bagian depannya digunakan untuk berjualan lontong sayur dan camilan gorengan untuk menyambung hidup.
Karena itu, ketika harga bahan bakar minyak naik dan ada bantuan dana kompensasi, Darminah merasa getir. Jika tidak bisa menebus KPS-nya, dia tak bisa mencairkan uang kompensasi sebesar Rp 400.000. Sementara itu, pinjaman uang di tempat gadai terus membengkak, mencapai Rp 500.000. Beruntung KPS-nya ditebus Camat Babat Fadheli Purwanto.
Lain cerita lagi dengan Tarmijah (52), tetangga Darminah. Dia bersama sembilan warga yang lain menjadi korban tetangga mereka, MM, yang menggadaikan KPS mereka ke lembaga gadai Roganda Uli. ”Dulu katanya dipinjam, tidak tahunya digadaikan. Saat mau mencairkan dana kompensasi, kami bingung. Yang menggadaikan pergi ke Bali, sementara KPS-nya ada di tempat gadai,” ujar buruh cuci itu.
Tarmijah tidak mungkin bisa menebus KPS-nya. Hasil dari upah mencuci sebulan saja tidak sampai Rp 500.000. Suaminya, Irianto, hanya bekerja mencari ikan di sungai atau menjadi penggali kubur ketika ada warga yang meninggal. Penghasilannya juga tidak menentu.
Padahal, keduanya masih harus membiayai dua anaknya yang masih bersekolah di SMP dan SMA. ”Makanya, begitu KPS ditebus Pak Camat, langsung saya gunakan untuk mengurus kompensasi. Dananya sudah dipakai langsung buat tambahan kebutuhan sekolah anak,” ujar ibu empat anak ini.
Rita (42) juga lega karena KPS-nya yang digadaikan MM sudah ditebus Camat Babat. ”Kami hanya menggunakan Rp 40.000 untuk kebutuhan sehari-hari. Selebihnya buat tambahan kebutuhan sekolah anak,” katanya.
Rente berkedok gadai
Kepala Desa Plaosan Soeyoto menyatakan, terungkapnya kasus gadai KPS itu justru menguak praktik rente yang tumbuh subur di Babat. Korbannya pedagang kecil di pasar dan warga miskin. Dalihnya menolong, tetapi yang terjadi justru menjerat warga dengan bunga mencekik.
Namun, praktik itu juga sulit diberantas karena masyarakat ingin praktis cepat dapat uang. ”Bahkan, kasarnya bukan hanya KPS, buku nikah pun bisa digadaikan. Itu benar-benar terjadi di sini,” ujar Soeyoto.
Hampir 70 persen masyarakat Plaosan bekerja sebagai kuli pasar, kuli bangunan, atau buruh tani dan serabutan. Dari 3.712 keluarga di Desa Plaosan, sebanyak 470 keluarga di antaranya mendapatkan KPS.
Dari 470 keluarga penerima KPS, tercatat 31 kartu digadaikan. Sebanyak 3 KPS ditebus pemilik kartu dan 28 ditebus camat. Nilai tebusan bervariasi, jika pinjaman Rp 100.000, ditebus Rp 125.000, dan jika nilai pinjaman Rp 125.000, ditebus Rp 150.000.
Tenaga sosial kesejahteraan Kecamatan Babat, Miftahul Hakim, mengatakan, warga di Kecamatan Babat yang menggadaikan KPS diperkirakan lebih dari 100 orang, tersebar di semua desa. Dari jumlah itu, 48 KPS ditebus camat, yakni 28 kartu di Desa Plaosan, 11 di Bedahan, 8 KPS di Sogo, dan 1 di Kuripan.
Angka itu belum termasuk yang ditebus sendiri oleh warga sehari sebelum pelaksanaan pencairan dana kompensasi BBM, seperti di Kelurahan Banaran dan Babat. ”Sebagian lagi tidak ditebus karena ada kebijakan jika KPS tidak ada, bisa membawa surat keterangan kehilangan dari kepolisian,” ujar Miftah.
Penerima dana kompensasi BBM di Kecamatan Babat tercatat 8.050 orang. Dari jumlah itu, yang belum mengambil uang kompensasi 332 orang serta warga yang mengurus surat kuasa dan surat kehilangan KPS agar bisa mencairkan dana kompensasi 140 orang. Adapun di Lamongan, warga penerima kompensasi BBM 2014 sebanyak 103.033 keluarga, sedikit berkurang daripada tahun 2013 yang 103.040 keluarga.
Miftah berharap pemerintah daerah setempat segera menertibkan praktik rente, baik berkedok gadai maupun berkedok koperasi. Praktik seperti itu justru menjerat masyarakat semakin terperosok di jurang kemiskinan.
Pemilik Roganda Uli, Ronly Lasroha Sibarani, mengatakan, dia ingin menolong warga yang kesulitan keuangan. Buktinya KPS, bahkan barang apa saja, termasuk buku nikah, bisa digadaikan di tempatnya. [] Adi Sucipto Kisswara
*Sumber: Harian Kompas, 3 Desember 2014 | Photo: Metrotvnews.com