Yogyakarta, PSKK UGM – Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat, garis kemiskinan Yogyakarta pada Maret 2016 naik, dibandingkan periode sebelumnya. Kenaikan garis kemiskinan mencapai 5,42 persen dan hal ini terjadi baik di perdesaan maupun perkotaan.
Kepala BPS DIY, Bambang Kristiyanto menjelaskan, garis kemiskinan DIY pada Maret 2015 adalah Rp335.886 per kapita per bulan. Maret tahun ini naik menjadi Rp354.084 per kapita per bulan. Adapun andil paling besar terhadap kenaikan ini berasal dari sektor pangan, yakni mencapai 71,25 persen.
“Andil sektor pangan cukup besar bahkan masih jauh lebih besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan,” kata Bambang.
Di wilayah perkotaan, ada lima komoditas yang mendorong naiknya garis kemiskinan, Bambang menambahkan. Beras mengambil porsi paling besar, yakni mencapai 26,57 persen. Selanjutnya diikuti oleh komoditi rokok filter 10,79 persen, telur ayam ras 5,63 persen, daging ayam ras 5,37 persen, dan mie instan 3,88 persen.
Meski garis kemiskinan naik, jumlah penduduk miskin (penduduk yang konsumsinya di bawah garis kemiskinan) di DIY cenderung turun. Pada Maret 2016 jumlah penduduk miskin mencapai 494,94 ribu orang. Jumlah ini turun sebanyak 55,29 ribu orang jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni 550,23 ribu orang.
Dihubungi secara terpisah, Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Muhadjir Darwin mengatakan, turunnya jumlah penduduk miskin meskipun garis kemiskinan naik merupakan capaian yang positif bagi Yogyakarta. Hal ini mengindikasikan tingkat kesejahteraan DIY semakin tinggi.
“Itu bagus. Untuk bisa memenuhi semua kebutuhan pokok, maka dibutuhkan pendapatan yang lebih tinggi. Saat garis kemiskinan naik dan jumlah warga miskin berkurang berarti tingkat kesejahteraan masyarakatnya mulai meningkat. Ini temuan yang positif,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Muhadjir menduga, kondisi ini bisa terjadi karena munculnya sektor usaha-usaha kreatif oleh masyarakat Yogyakarta beberapa tahun belakangan. Desa wisata yang dikelola oleh penduduk lokal misalnya, terus marak apalagi di musim liburan. Begitu pula dengan bisnis kuliner dan catering yang menyajikan beragam makanan, tumbuh merata hampir di semua wilayah kabupaten DIY.
Upaya ini baginya perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan. Pemerintah daerah perlu memperhatikan secara lebih serius terhadap wilayah yang menjadi “kantong-kantong” kemiskinan DIY. Wilayah-wilayah ini tidak hanya berada di perkampungan, namun juga menyebar di semua wilayah kabupaten dan kota.
“Bagaimana dari kantong kemiskinan bisa didorong untuk bisa menjadi kantong kesejahteraan,” ujar pria yang juga berprofesi sebagai dosen Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL UGM ini. []
*Artikel diolah dari berita Harian Jogja (9/8) dan arsip media Harian Jogja (9/8) | Foto: Operasi Pasar Beras Murah BULOG/Sindonews