Yogyakarta, PSKK UGM — Capaian berbagai indikator pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta selalu berada pada peringkat yang baik. Indeks pembangunan manusia, indeks kebahagiaan, kota layak huni, capaian pendidikan maupun kesehatan selalu baik angkanya. Sayangnya, hal ini tidak diikuti dengan aspek kesejahteraan. Angka kemiskinan di DIY masih berada di atas peringkat 20 dibandingkan provinsi lainnya.
Persentase penduduk miskin Yogyakarta kini masih sekitar 15 persen. Angka ini diproyeksikan akan turun hingga 13,8 persen pada 2015, kemudian menjadi 12,8 persen pada 2016, dan 11,8 persen pada 2017. Sementara itu, berdasarkan tipe daerah, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2014 menunjukkan, jumlah penduduk miskin di perkotaan masih lebih banyak dibandingkan perdesaan, masing-masing jumlahnya 324.430 jiwa dan 208.150 jiwa.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Drs. Pande Made Kutanegara, M.Si. menilai, satuan kerja perangkat daerah atau SKPD di DIY baik tingkat provinsi, kabupaten maupun kota sebetulnya telah membuat kebijakan dan program dalam rangka menanggulangi kemiskinan. Berbagai terobosan program seperti pemberian dana bantuan Rp. 1 juta per rumah tangga miskin juga telah dilakukan. Sama halnya dengan Tim Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TPKD) yang bergerak cepat untuk mengaktifkan lagi peran-peran strategisnya hingga ke level kecamatan, desa, dan pedukuhan. Namun, capaian program penanggulangan kemiskinan masih dinilai lamban.
“Percepatan penanggulangan kemiskinan sangat ditentukan pula oleh peran keluarga atau rumah tangga yang menjadi sasaran program. Maka, lambannya pencapaian program bisa jadi karena peran keluarga sebagai ‘ujung tombak’ penanggulangan kemiskinan belumlah maksimal,” kata Made saat Rapat Kerja Daerah “Sosialisasi Hasil Analisis Penyiapan Bahan Perumusan Kebijakan Bidang KB dan Pemberdayaan Masyarakat” yang diselenggarakan oleh Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan, Sekretariat Daerah DIY, Selasa (4/8) lalu.
Untuk meningkatkan kualitas keluarga dan pemberdayaan masyarakat, DIY sedikitnya menghadapi dua ancaman atau kendala. Pertama, tingginya rasio ketergantungan penduduk nonproduktif yang mencapai angka 38 sampai 40 persen. Kedua, struktur penduduk lanjut usia yang relatif banyak, yakni 21 persen. Kedua hal ini menurut Made tidak hanya mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi masyarakat, tetapi juga ketahanan dan kemandirian keluarga.
Sementara itu, Made juga menilai bahwa pemberdayaan masyarakat belum secara eksplisit menjadi prioritas dalam program-program pemerintah DIY. Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Berdasarkan Prioritas Tahun 2015 menunjukkan, anggaran terbesar masih dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan sosial budaya yang hampir mencapai 30 persen dari total anggaran DIY. Program penanggulangan kemiskinan pun belum mampu menunjukkan penurunan terhadap jumlah keluarga miskin yang signifikan. Oleh karena itu, upaya ekstra dalam menangggulangi kemsikinan khususnya bagi kelompok Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera (KS) I sangatlah diperlukan.
“Pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat, khususnya terhadap keluarga akan memberikan dampak yang lebih baik. Dalam konsep pemberdayaan keluarga juga ada pemberdayaan terhadap berbagai komponen di dalam keluarga, seperti kepala keluarga, perempuan sebagai ibu dan istri, pemuda, dan lansia,” jelas Made.
Adapun program pemberdayaan ini perlu diarahkan pada pola-pola berbasis aset atau potensi, bukan lagi berangkat dari persoalan atau masalah. Pola pemberdayaan berbasis persoalan seringkali hanya berkutat pada persoalan yang dihadapi keluarga dan masih memungkinkan untuk munculnya persoalan baru. Selain itu, menimbulkan pula ketergantungan pada sumber daya tertentu. Ini berbeda apabila pemberdayaan dilakukan berbasis aset atau potensi yang dimiliki oleh keluarga.
Salah satu bentuk pemberdayaan yang dianggap efektif dalam mengurangi kemiskinan adalah pembentukan wirausaha keluarga. Wirausaha keluarga merupakan bentuk pemberdayaan terpadu yang melibatkan berbagai aset atau potensi yang dimiliki keluarga, sekaligus dapat dilakukan oleh semua anggota keluarga.
Made kembali menambahkan, keluarga miskin dapat semakin berdaya melalui peningkatan kemampuan kepemimpinan keluarga, pengenalan aset atau potensi keluarga, peningkatan manajerial kemampuan wirausaha dan pengendalian risiko usaha.
“Secara berkelanjutan dan mandiri, bisa membentuk wirausaha keluarga. Harapannya, usaha ini bisa menjadi pelopor, contoh, bahkan pendorong bagi keluarga miskin lainnya untuk lebih berdaya. Pada akhirnya, kualitas kehidupan keluarga dan masyarakat bisa tercapai.” [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi industri rumah tangga/istimewa