JAKARTA, (PRLM) – Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang tengah menggodok postur kabinet diminta menjadikan transmigrasi sebagai kementerian tersendiri. Pasalnya, secara geografis Indonesia begitu luas, banyak pulau-pulau belum ada penghuninya, sehingga rawan diklaim negara lain.
Selain itu, ada masyarakat di pulau terdepan atau di perbatasan Indonesia hidupnya masih di bawah garis kemiskinan. Cara untuk mengantisipasi dan mengatasi permasalahan itu dengan meningkatkan program dan pembangunan transmigrasi. Selama ini pemerintah sudah giat melaksanakan program transmigrasi, tetapi belum cukup.
Oleh karena itu, transmigrasi sebaiknya jadi kementerian sendiri. “Saya usul gabung saja dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Saya berharap sekali Presiden dan Wakil Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), dan Jusuf Kalla (JK) segera melaksanakan ini,” kata Timboel, di Jakarta, Minggu (31/8).
Sebelumnya, usulan seperti itu disampaikan mantan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Siswono Yudo Husodo, yang sekarang menjadi anggota Komisi IV DPR.
Menurut Siswono manfaat dan keuntungan keberadaan transmigrasi sangat nyata seperti sabuk pengaman NKRI juga menghasilkan bahan pangan. “Oleh karena itu perlu menjadi kementerian tersendiri, pisah dari ketenagakerjaan,” katanya.
Menurut Dirjen Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT Kemenakertrans) Roosari Tyas Wardani, beranjak atas realitas kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang masih diwarnai sejumlah persoalan, maka harapannya adalah transmigrasi ke depan mutlak memerlukan dukungan pemerintah agar menjadi institusi atau lembaga tersendiri. “Entah apa namanya yang terpenting transmigrasi yang lembaga tersendiri yang tangguh,” katanya.
Alumnus Institut Pertanian Bogor ini menyebutkan, kalau menjadi lembaga tersendiri pasti akan mampu menjawab permasalahan bangsa saat ini, khususnya dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan, pemerataan pembangunan wilayah, kemiskinan dan penggangguran, redistribusi asset lahan serta kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketika sudah menjadi lembaga tersendiri, kata Sari, maka perlu dukungan dari masyarakat, DPR dan pemerintah daerah. Selain itu yang penting, kata Sari, adalah kalau sudah menjadi kementerian tersendiri perlu anggaran yang signifikan. “Tanpa ini harapan masyarakat marginal Indonesia untuk hidup lebih baik dikhawatirkan hanya akan tinggal utopia,” katanya.
Sari menambahkan, untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan nasional dan menguatkan kedaulatan wilayah-wilayah perbatasan, transmigrasi sebagai suatu metode pembangunan diharapkan akan dapat menemukan momentumnya untuk Indonesia masa depan yang lebih baik, nyaman, aman dan sejahtera.
Transmigrasi merupakan metode pembangunan yang berkemanfaatan luas ketika tata kelola sumber daya alam masih belum sepenuhnya mampu memberikan kemakmuran bersama dan menumbuhkan rasa keadilan.
Dalam rangka menjawab persoalan tersebut, transmigrasi dapat berperan sebagai wahana atau instrumen redistribusi aset sumber daya lahan negara atau penyedia sumber penghidupan dan permukiman.
Dalam hal ini lahan dalam pemahaman masyarakat Indonesia bukan lagi hanya dipandang sebagai alat produksi yang berdimensikan ekonomi. Akan tetapi juga bermakna sebagai simbol status keluarga. Atas pemikiran tersebut satu atau dua tahun ke depan ini alangkah sempurnanya seandainya wacana tentang re-distribusi aset lahan ini mulai diimplementasikan.
Menurut Sari, agenda pemberdayaan masyarakat sebagai kunci utama dalam menggapai kesuksesan berbangsa dan bernegara terkesan terkalahkan oleh gemerlapnya pembangunan fisik semata.
Melalui program redistribusi aset lahan termasuk land reform di dalamnya, rasanya wajah-wajah murung yang masih menghiasi bangsa ini terggantikan oleh raut yang berpengharapan bagi tumbuh kembangnya Indonesia yang membanggakan.
Ia menambahkan, persoalan-persoalan akut lainnya yang menumbuhkan kecemasan semakin meluas dan aktual pada saat ini adalah gejolak pangan, yang sebagian besar masih digantungkan dari impor dengan harga yang membumbung.
Transmigrasi dalam konteks ini merupakan bagian utama dari upaya perluasan areal lahan seperti pangan, perkebunan, perikanan, dan lain-lain yang berpotensi mewujudkan ketahanan pangan sekaligus kedaulatan wilayah NKRI.
Kawasan-kawasan transmigrasi, tegas Sari, mampu menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, khususnya di luar pulau Jawa, Bali dan Pulau Madura, mengangkat kabupaten tertinggal dan kabupaten di perbatasan dan pulau-pulau terluar menjadi wilayah-wilayah ekonomi untuk menjawab ketimpangan atau kesenjangan pembangunan antar wilayah, yang mampu mengangkat ketertinggalan pembangunan di daerah khususnya di daerah perbatasan, tertinggal dan pulau-pulau terluar Indonesia.
Timboel menambahkan, penduduk yang berpindah akan berperan sebagai pelaku produksi dan sekaligus penduduk tersebut sebagai pasar bagi berbagai produk yang dihasilkan.
“Bila geliat ekonomi mulai bergerak dengan baik maka daerah yang termasuk tertinggal akan menjadi daerah tidak tertinggal lagi,” kata alumnus S2 Ilmu Ekonomi Sumber Daya Manusia Universitas Trisakti Jakarta ini.
Menurut Timboel, penduduk yang datang ke daerah transmigrasi akan bersinergi dengan penduduk lokal dan akan terjadi transfer pengetahuan dan keterampilan.
Dari sisi anggaran, kata dia, dengan digabungkannya transmigrasi dan PDT maka akan ada dana yang cukup besar untuk membangun daerah tertinggal.
“Jadi kehadiran penduduk yang berpindah ke daerah tertinggal akan menciptakan daerah baru yang lebih banyak penduduknya dan hal ini akan mendorong peningkatan geliat ekonomi,” tegas alumnus S1 Institut Pertanian Bogor ini.
Timboel menambahkan, tugas pemerintahan Jokowi ke depan adalah menambah anggaran untuk transmigrasi dan PDT sehingga bisa membangun infrastruktur daerah tertinggal.
Penduduk yg berpindah maupun penduduk lokal diberikan aset, peralatan dan modal serta dibantu dalam pemasaran produk yang dihasilkan, serta membangun pendidikan dan kesehatan yang layak. [] Satrio Widianto/A-89
*Sumber: Pikiran Rakyat | Foto: Iwan Dwi Purnomo Blogspot