Yogyakarta, PSKK UGM — Pemberitaan mengenai penanganan pengungsi etnis Rohingya asal Myanmar terus bergulir. Setelah terombang-ambing cukup lama di Laut Andaman, sebagian pengungsi kini sudah bisa bernafas lega. Pemerintah Indonesia dan Malaysia akhirnya membuka diri untuk menyediakan tempat penampungan sementara bagi para pengungsi.
Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. soc.pol. Agus Heruanto Hadna mengatakan, jumlah pengungsi sebenarnya sudah cukup banyak meski Indonesia sebenarnya bukanlah wilayah sasaran. Secara geografis, selama ini Indonesia hanya menjadi wilayah atau negara transit. Tujuan utama para pengungsi dan pencari suaka tersebut adalah Australia dan Malaysia yang secara ekonomi dinilai lebih maju.
Untuk kasus pengungsi etnis Rohingya Hadna menambahkan, langkah Indonesia untuk menampung sementara para pengungsi sudah tepat. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah memang bersifat darurat atas dasar kemanusiaan. Perkara apakah mereka nanti akan menjadi warga negara, itu harus dirundingkan terlebih dahulu.
“Untuk itu masih harus diperbincangkan dahulu. Persoalan internal kita sendiri juga masih banyak yang belum selesai. Apalagi kita sebenarnya juga sedang terseok-seok untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Padahal, tantangan bonus demografi sudah di depan mata,” kata Hadna.
Keberadaan pengungsi Rohingya tidak dipungkiri akan menjadi beban bagi Indonesia dan Malaysia. Maka, penanganan pengungsi seharusnya juga menjadi perhatian negara-negara anggota ASEAN lainnya. Tidak hanya sibuk mempersiapkan komunitas ekonominya, ASEAN juga perlu membaca ulang konstelasi politik antarnegara di Asia Tenggara.
“Saya kira ASEAN belum siap untuk itu. Maka, pemerintah kita juga harus berani untuk mengantarkan isu Rohingya ini menjadi isu bersama di ASEAN. Masalah pengungsi Rohingnya adalah masalah bersama. Jangan hanya diserahkan kepada Indonesia dan Malaysia karena ini terlalu berat,” kata Hadna lagi.
Selain penanganan pengungsi, ASEAN juga perlu gencar mendorong diplomasi-diplomasi politik dengan Myanmar agar peduli dan menyelesaikan persoalan internal di wilayahnya. Warga etnis Rohingya terpaksa keluar dari Rakhine, Myanmar karena mengalami praktik diskriminasi dan kekerasan. Statusnya sebagai warga negara dan kelompok etnis tidak diakui. Konflik yang terjadi tidak hanya antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Konflik struktural dengan Pemerintah Myanmar pun terlihat jelas.
Hadna menambahkan, ASEAN tetap perlu mengedepankan diplomasi politik. Namun, apabila respon dari Pemerintah Myanmar acuh, setidaknya ASEAN juga harus bisa bersikap tegas karena Myanmar bagian dari ASEAN.
“ASEAN berani tidak untuk mengeluarkan kebijakan yang bersifat sanksi? Berbicara ASEAN kan tidak harus selalu soal persiapan komunitas ekonomi atau MEA 2015, tetapi juga isu-isu lainnya seperti HAM, demokrasi, daya dukung lingkungan, dan lain sebagainya. Sebagai negara anggota, Myanmar seharusnya bisa mengikuti itu.”
Hal senada juga disampaikan oleh Peneliti Senior PSKK UGM, Dr. Sukamdi, M.Sc. bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN memang lebih banyak berbicara dalam dimensi ekonomi ketimbang dimensi sosial dan politik, meskipun ketiga dimensi tersebut sebenarnya saling berkaitan erat. Akhirnya, tidak ada mekanisme yang disepakati saat arus migrasi besar-besaran seperti pengungsi Rohingya ini terjadi.
“Sebaiknya MEA memiliki peran lebih jauh dan mendorong Myanmar untuk bisa menciptakan kondisi yang aman bagi etnis Rohingya. Namun, saya melihat MEA memang masih di permukaan saja, belum bisa masuk ke dalam aspek multidimensi dari hubungan antarnegara,” kata Sukamdi.
Selain ASEAN, Sukamdi juga mensyaratkan agar lembaga internasional seperti PBB memainkan perannya lebih optimal dalam menghadapi konflik di Myanmar. Arus migrasi pengungsi Rohingya bukan semata-mata persoalan regional Asia Tenggara, melainkan sudah menjadi persoalan internasional. [] Media Center PSKK UGM | Photo Rohingya boat migrants/ibtimes.co.uk