JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 77 akademisi lintas bidang dan rumpun ilmu dari sejumlah perguruan tinggi prihatin melihat hasil hitung cepat (quick count) yang berseberangan dan akhirnya membingungkan masyarakat. Mereka mengingatkan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan menjadi taruhan apabila terjadi manipulasi data.
”Kepada para pengelola lembaga survei terkait penghitungan cepat, agar melakukan uji publik validitas data dengan mengklarifikasi metode dan sampelnya,” ujar Sulistyowati Irianto dari Universitas Indonesia, di Jakarta, Selasa (15/7).
Mereka semua berbicara atas nama akademisi untuk membela ilmu pengetahuan. ”Saat ini, ilmu pengetahuan sedang dinodai karena dilakukan metodologi yang tidak sesuai dengan kaidah statistik,” kata Muhadjir Darwin dari Universitas Gadjah Mada.
Pengajar statistik Institut Pertanian Bogor, Asep Saefuddin, menjelaskan, hitung cepat adalah sebuah pendugaan yang dilakukan lewat metodologi ilmiah dengan unsur keterwakilan dan keterlacakan.
”Hasil sebenarnya tidak akan terlalu banyak berbeda dengan hasil hitung cepat denganmargin error yang tidak lebih dari 1 persen, bahkan 0,5 persen. Metodologinya kuat,” ujar Asep.
Dengan hasil hitung cepat berseberangan, para akademisi menduga ada intervensi terhadap metodologi ilmiah yang digunakan. ”Salah satu hasil hitung cepat itu benar dan satu lainnya pasti salah,” kata Ade Armando dari Universitas Indonesia.
Menurut Ade, jika intervensi ini sungguh terjadi, kebenaran hitung cepat yang dilakukan secara ilmiah bisa kehilangan kepercayaan masyarakat.
Menurut Karlina Supelli dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, sebuah klaim kebenaran ilmiah harus didasarkan pada metodologi ilmiah pula. Jika sebuah penelitian dilakukan sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan tanpa dicampuri kepentingan pribadi atau golongan, hasilnya pun akan mendekati kebenaran.
Oleh karena itu, para akademisi menyerukan agar institusi penegak hukum, khususnya kepolisian, agar menyelidiki kredibilitas, rekam jejak, dan menindak tegas lembaga survei yang memalsukan data. Mereka juga berharap asosiasi lembaga profesi yang menaungi lembaga survei mengeluarkan lembaga tersebut dari asosiasi.
Puskaptis menolak
Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), sampai kemarin, terus meneliti data forensik atau metodologi yang digunakan sejumlah lembaga survei yang menyelenggarakan hitung cepat pemilu presiden.
Anggota Dewan Etik Persepi, Hamdi Muluk, mengatakan, gugus tugas tim investigasi masih terus memeriksa metodologi hitung cepat, manajemen lembaga survei, termasuk pendanaan survei, dan data forensik.
Pemeriksaan secara maraton pertama dilakukan terhadap Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI), Cyrus-CSIS, Indikator Politik Indonesia, dan Populi Center. Hasil hitung cepat lembaga-lembaga ini memenangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Pemeriksaan dilakukan secara profesional dan menjaga independen dengan menghadirkan Ketua Dewan Etik Persepi Hari Wijayanto, akademisi Komaruddin Hidayat, Rustam Ibrahim, dan Umar Yahya.
Menurut rencana, Rabu (16/7) ini juga akan dilakukan pemeriksaan terhadap Puskaptis dan Jaringan Suara Indonesia (JSI) yang memenangkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Namun, Puskaptis sudah menyatakan penolakannya untuk diperiksa Dewan Etik Persepi.
Sementara itu, JSI tidak membuka kantornya kembali. Pengiriman undangan melalui surat elektronik (e-mail) pun terjadi penolakan. Begitu pula SMS soal kesediaan untuk diperiksa juga tidak dibalas.
Ketika Kompas mengonfirmasi Direktur Puskaptis Husin Yazid melalui telepon selulernya, telepon sempat diterima tetapi segera diputus. Hingga malam, SMS pun tidak dibalas.
Sementara itu, Lembaga Survei Nasional (LSN) tidak berada di bawah Persepi. Organisasi yang menaunginya pun tidak mengambil sikap. Adapun Indonesia Research Center (IRC) tak berada di dalam naungan asosiasi mana pun.
8 lembaga dilaporkan
Advokat Indonesia Raya melaporkan delapan lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK ke Badan Reserse Kriminal Polri. Kedelapan lembaga survei yang dilaporkan adalah Populi Center, CSIS-Cyrus, Litbang Kompas, Indikator Politik, LSI, RRI, SMRC, dan Poltracking.
Menurut Muhammad Achyar dari Advokat Indonesia Raya, lembaga yang berwenang menyampaikan hasil penghitungan suara adalah KPU.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Ronny F Sompie mengatakan, laporan tentu akan dipelajari dan diselidiki.
Secara terpisah, Direktur Utama RRI Niken Widiastuti menyatakan, RRI hanya berniat menyampaikan informasi ke publik hasil hitung cepat yang dilakukan Puslitbang Diklat RRI. Hitung cepat dilakukan profesional. Anggarannya berasal dari anggaran rutin biasa yang bersumber dari APBN. (OSA/NTA/FER/A12)
*Sumber: Harian KOMPAS, 16 Juli 2014