JAKARTA, Okezone – Genap 100 hari sudah Nusron Wahid memimpin Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Guna menandai momentum ini dia menggandeng KPK, BPK, serta Kemenpan dan RB, karena menyadari bahwa lembaga yang dipimpinnya punya beberapa titik potensi penyelewengan dan praktik korupsi.
"Untuk menuju governance dan prudence dari publik perlu dibangun pengendalian gratifikasi, perlu adanya kerjasama pendidikan pegawai BNP2TKI dengan KPK, BPK untuk menjadi aparat yang mampu melayani publik secara optimal dan akuntabel," kata Nusron dalam acara "Sosialisasi LHKPN dan LHKASN dan Akuntabilitas Laporan Keuangan Menuju Opini WTP di lingkungan BNP2TKI" di Jakarta, Selasa (10/3/2015).
Dalam acara itu, Nusron memang menggandeng KPK, BPK, dan Kemenpan RB. Nusron mengatakan, dalam tekadnya memenuhi rekomendasi KPK, BNP2TKI telah menetapkan Rencana Aksi (Renaksi) untuk memperbaiki tata kelola program kerja BNP2TKI yang sarat dengan kerawanan terjadinya tindak korupsi.
Karena itu Nusron Wahid di 100 hari memimpin BNP2TKI pada hari ini, Selasa 10 Maret 2015, bertekad mewujudkan kerjasama ini. "Upaya ini dilakukan untuk menciptakan aparatur pengelola penempatan dan perlindungan TKI yang bersih dan akuntabel," ujarnya.
Nusron mengatakan, BNP2TKI tidak ada toleransi atas praktik-praktik penyimpangan yang menempatkan TKI sebagai objek pemerasan. Modus seperti penukaran mata uang asing, pemalsuan dokumen, serta manipulasi lain yang hendak memanfaatkan keringat TKI harus terus ditindak dan ditutup celahnya.
Tekad itu, kata Nusron, hanya bisa terwujud jika semua aparat di lingkungan BNP2TKI punya pemahaman dan kesadaran serta keinginan kuat untuk menjadi bagian dari terwujudnya good governance.
Sebelumnya, Nusron juga membuat dua gebrakan untuk membenahi permasalahan yang selama ini dihadapi buruh migran. Gebrakan pertama adalah memulangkan semua TKI nonformal di beberapa negara yang jumlahnya mencapai 1,8 juta.
"Ada 1,8 juta orang di berbagai negara, mereka tidak punya dokumen kontrak, paspor, bahkan visa kerja," ujar Nusron beberapa waktu lalu.
Nusron mengatakan, mereka itu daripada bermasalah, mau pulang juga takut, tetapi di sana terancam ditangkap, maka lebih baik pemerintah memulangkannya. Dan pemerintah, kata dia, tidak sekadar memulangkan, tetapi setelah dipulangkan mereka akan dilatih dan dibukakan akses modal untuk membuka usaha.
"Tentu nanti akan ada opsi, misalkan bagi negara yang memungkinkan untuk pemutihan dan TKI nonformal itu masih mau bekerja di negara tersebut. Prinsipnya kita tidak mau memperlama derita, tetapi juga setelah itu jangan sampai timbulkan problem baru," ujarnya.
Sementara gebrakan kedua, lanjut Nusron, adalah pembenahan di struktur biaya yang harus dikeluarkan TKI. Menurut Nusron, beban yang harus ditanggung TKI selama ini sangat tidak manusiawi. Sebab, dari mulai berangkat hingga kerja selama tiga tahun, TKI harus menanggung beban sekira Rp51 juta atau setara dengan 11 gaji pekerja di Taiwan.
Nantinya, kata Nusron, mulai Maret 2015 biaya yang ditanggung TKI dipangkas menjadi hanya sekira Rp20 juta. Tidak hanya biaya yang ditekan, tetapi juga prosesnya akan lebih dimudahkan. Jika sebelumnya proses yang harus ditempuh TKI ada 22 titik yang setiap titiknya ada biayanya, nanti hanya delapan titik saja, itu pun akan dibuat di satu tempat.
Dia melanjutkan, problem yang ada sekarang ini, secara struktural, kenapa masih ada yang kerja bahkan secara nonformal ke luar negeri. Jawabannya karena terpaksa, ada keterdesakan, apakah itu problem sosial maupun ekonomi. Indonesia saat ini, lanjut Nusron, mengalami bonus demografi, di mana usia produktif lebih banyak dari kesempatan kerjanya. Kata Nusron, politik migrasi itu baru bisa diselesaikan ketika pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen. Tetapi itu belum tercapai saat ini sehingga banyak yang memilih kerja di luar negeri.
"Persoalannya, ketika migrasi prosesnya terlalu panjang, waktunya lama, biayanya mahal. Harus mendatangi 22 tempat, dan di Indonesia, semua tempat duit, mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 5 juta. Karena itu, banyak yang mengambil jalan pintas dengan tanpa prosedural," ungkapnya.
Padahal, pada hakikatnya mereka ingin tenang, berangkat secara formal, dan tidak ingin ditangkap polisi. Tetapi masalahnya itu, lama, panjang, dan mahal. Maka solusinya, prosesnya harus diubah, dari 22 titik menjadi 8 titik dan satu pintu. “Datang di satu tempat, selesai semua urusan, di imigrasi ada tes kesehatan dan lain-lain, biayanya juga diringankan," tambahnya. [] Mohammad Saifulloh
*Sumber: Okezone | Photo TKI/Istimewa