Yogyakarta, PSKK UGM – Pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan merupakan fakta sosial yang menjadi persoalan di Indonesia. Mereka yang kaya terus bertambah kaya, sementara yang miskin semakin terpuruk. Di kota-kota besar seperti Jakarta misalnya, dengan mudah kita jumpai banyak infrastruktur jembatan, sementara di wilayah lain yang banyak dialiri sungai, justru fasilitas tersebut sangatlah minim.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Direktur Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Drs. Pande Made Kutanegara, M.Si. saat Focus Group Discussion “Strategi Pengurangan Kemiskinan, Pengangguran, dan Ketimpangan Masyarakat” yang diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Solo, Kamis (3/12) lalu.
Pertumbuhan kelas menengah ke atas di Indonesia terjadi cukup pesat. Gaya hidup mewah mereka juga sangat mencolok di publik. Sementara di lain sisi, penduduk miskin tetaplah miskin. Ketimpangan tidak hanya terjadi antarkelas maupun golongan, ketimpangan juga terjadi antarwilayah, bahkan semakin terbuka dan kentara.
“Kapitalisme semakin mengakar kuat dan menjulang tinggi dalam sistem kenegaraan dan kemasyarakatan kita. Laporan Bank Dunia terbaru menunjukkan, dalam 15 tahun terakhir, koefisien Gini kita naik dari 0,30 pada 2000 menjadi 0,41 pada 2013 hingga saat ini,” jelas Pande.
Berdasarkan provinsi, data Badan Pusat Statistik pada September 2014 menunjukkan ada sembilan provinsi koefisien Gini yang lebih tinggi dari koefisien Gini nasional (0,41). Provinsi tersebut, antara lain Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Bali, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Papua. Provinsi dengan koefisien Gini terendah adalah Bangka Belitung (0,295), sementara yang tertinggi adalah Papua (0,459).
Apa kemudian yang menyebabkan pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan terjadi? Jika dilihat dalam ekonomi makro, Pande mengatakan, pertama karena adanya perbedaan pertambangan pendapatan antarkelompok masyarakat. Penduduk di Jakarta memiliki akses lebih besar dibandingkan penduduk di wilayah lainnya. Di Jakarta, pekerja white collar mendapatkan pendapatan ribuan kali lipat dibandingkan dengan buruh tani di desa, misalnya. Kedua, faktor askes terhadap sumber daya. Ada perbedaan kepemilikan aset barang dan sumber daya manusia. Orang dengan penghasilan tinggi misalnya, mampu menyediakan beragam fasilitas pendidikan yang baik bagi anaknya, mulai dari sekolah, buku-buku, hingga tambahan les pelajaran. Sebaliknya, mereka yang miskin relatif tidak memiliki kemampuan akses untuk mengejar ketertinggalannya. Ketiga, faktor konektivitas, yakni adanya kesenjangan pembangunan antarwilayah baik wilayah di Pulau Jawa dengan di luar Jawa, antarprovinsi, maupun antarkabupaten. Keempat, faktor akses pelayanan dasar, yakni adanya perbedaan akses terhadap pendidikan dan air bersih. Kelima, faktor pertumbuhan penduduk. Angka kelahiran total (total fertility rate) cenderung tinggi pada kelompok miskin. Hal ini menjadi penghambat yang signifikan bagi tercapainya bonus demografi di Indonesia.
“Untuk itu, ada beberapa strategi penurunan pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan yang bisa dilakukan. Misalnya, menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah di Indonesia, tak terkecuali wilayah terpinggir dan terluar seperti wilayah-wilayah perbatasan,” kata Pande.
Strategi lainnya, yakni meningkatkan penyerapan tenaga kerja produktif dalam semua sektor ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang inklusif terutama bagi masyarakat miskin dan rentan, penyempurnaan pelaksanaan perlindungan sosial yang komprehensif, pengembangan kehidupan yang berkelanjutan, pengembangan ekonomi produktif, dan revolusi mental, yakni dengan meningkatkan semangat bekerja dan berusaha.
“Pengembangan kehidupan berkelanjutan untuk masyarakat miskin ini nantinya khusus menyasar kantong-kantong kemiskinan yang berada di wilayah perdesaan,” kata Pande lagi. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi ketimpangan/oxfam america