Yogyakarta, Media Indonesia – INDEKS potensi konflik yang bersumber dari premanisme di Yogyakarta pada 2016 meningkat dibandingkan dengan empat kabupaten lainnya di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Agus Heruanto Hadna, Minggu (9/10), menjelaskan salah satu penyebabnya adalah pertumbuhan ekonomi.
“Salah satu penyebab dari tingginya indeks potensi konflik dari premanisme diduga juga berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi,” kata Hadna.
Ia mengatakan aksi-aksi kekerasan yang muncul dari konflik akibat premanisme tersebut tidak bisa dianggap sepele karena bisa berpotensi memunculkan konflik sosial yang lebih destruktif.
Meski Yogyakarta belum memiliki sejarah konflik yang mengkhawatirkan, ujar Hadna, namun hal itu tidak berarti terbebas dari potensi konflik.
“Perlu disadari betul bahwa masyarakat Yogyakarta sudah cukup resah terhadap aksi-aksi kekerasan yang terjadi,” ucap dia.
Ia menjelaskan studi perubahan sosial dan potensi konflik yang dilakukan PSKK UGM pada 2013 dan 2016 menunjukkan sebagian besar masyarakat menilai aksi-aksi kekerasan oleh kelompok atau premanisme di Yogyakarta mengalami peningkatan yang signifikan.
Ia menuturkan dari total jumlah responden 7.752 orang, sebanyak 50,48% memiliki persepsi bahwa aksi-aksi premanisme meningkat semenjak 2013 hingga 2016.
“Peningkatan tersebut terutama dirasakan masyarakat di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta. Sementara responden yang mengatakan aksi kekerasan dan premanisme tetap sebanyak 18,7% dan yang mengatakan turun sebanyak 18,65%. Sisanya, yakni 12,16% mengatakan tidak tahu,” terang dia.
Sementara itu, lanjut dia, saat ditanya tentang bagaimana perkembangan premanisme di wilayah tempat tinggalnya, sebanyak 49,42% masyarakat Bantul memberikan persepsi naiknya tindakan premanisme di wilayahnya.
Persentase itu, katanya, masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota lainnya, seperti Sleman sebesar 32,36%, Gunungkidul 26,81%, Kota Yogyakarta 23,78%, dan Kulonprogo 18,26%.
“Studi yang sama pernah kami lakukan pada 2013. Jika dibandingkan dengan studi yang lalu, maka indeks potensi konflik yang bersumber dari aksi premanisme meningkat di wilayah Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Untuk Kulonprogo indeksnya tetap, sedangkan Gunungkidul indeksnya turun,” kata Hadna. (OL-3) Furqon Ulya []
*Sumber: Media Indonesia