JAKARTA, Koran Jakarta – Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai peningkatan kedalaman dan keparahan kemiskinan pada rumah tangga miskin khususnya di perdesaan makin memperkuat temuan satu dekade terakhir terkait terus meningkatnya kesenjangan ekonomi di Indonesia.
Data Bank Dunia menyebutkan angka gini rasio Indonesia pada 2016 mencapai 0,45 atau naik dari 0,42 setahun sebelumnya. Angka gini rasio yang makin besar (sampai dengan 1) menunjukkan ketimpangan kesejahteraan yang makin tinggi.
Peneliti Rumah Tangga Miskin dari Fakultas Geografi UGM Yogyakarta, Evita Hanie Pangaribowo, mengatakan isu kesenjangan saat ini menjadi semakin krusial sebab kesenjangan di antara rumah tangga miskin juga semakin melebar.
“Artinya ada kebutuhan dan perilaku rumah tangga sangat miskin yang tidak dipamahi oleh pemerintah sehingga kebijakan negara sangat jauh dari realitas mereka. Ini nyambung dengan kalau kita mau lihat bagaimana policy pemerintah di bidang pertanian, yang jauh dari realitas buruh tani,” kata Evita saat dihubungi, Selasa (19/7).
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2016 turun menjadi 10,86 persen atau 28,01 juta orang. Berdasarkan wilayah, jumlah penduduk miskin daerah perkotaan pada periode itu tercatat 10,34 juta penduduk, sedangkan jumlah penduduk miskin di perdesaan sebanyak 17,67 juta orang.
Akan tetapi, menurut BPS, tingkat kemiskinan yang terjadi pada wilayah perdesaan di Indonesia pada periode Maret 2016 semakin dalam dan parah. Hal itu tecermin dari kenaikan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan. (lihat infografis)
“Kami menduga di perdesaan terjadi peningkatan kedalaman dan keparahan kemiskinan, sehingga secara rata- rata di desa meningkat,” ungkap Kepala BPS Suryamin.
Sulit Dientaskan
Menurut Evita, kemiskinan di perdesaan akan sangat sulit dientaskan oleh negara yang fokus pada pembangunan perkotaan. Isu infrastruktur, misalnya, masih jauh dari yang dibutuhkan oleh golongan miskin. Sementara dana desa masih rentan dengan isu ketidakadilan akses dan elite capture pedesaan.
Evita juga menggarisbawahi pentingnya pemahaman negara akan perilaku konsumsi rumah tangga sangat miskin. Sebab, penghasilan mereka sangat rentan terhadap inflasi atau naik turunnya harga kebutuhan bahan pokok.
Sementara, lanjut dia, jika negara terus mengandalkan impor untuk membuat harga beras dan sembako turun maka buruh tani dan manula yang mengandalkan pekerjaan sawah di desa juga makin sulit mendapatkan harga sewa yang bagus. []
*Sumber: Koran Jakarta