Yogyakarta, PSKK UGM – Ilmu pengetahuan merupakan produk kesejarahan umat manusia. Digambarkan seperti sebuah pohon, ilmu pengetahuan berakar pada pemikiran-pemikiran filsafat yang dalam perkembangannya mulai ditinggalkan oleh ilmu-ilmu cabang. Ilmu-ilmu cabang dengan metodologinya masing-masing mengembangkan juga spesialisasinya secara intens seperti ilmu-ilmu alam atau fisika. Pada periode yang disebut sebagai lahirnya gerakan renaissance dan aufklÄrung ini, filsafat memasuki tahap yang baru atau modern.
Perkembangan ilmu pengetahuan kemudian mencapai tahap dimana kehidupan manusia menjadi lebih dimudahkan dan bahkan dimanjakan oleh inovasi teknologi baru. Ilmu pengetahuan telah meningkatkan fasilitas hidup manusia di satu sisi. Namun, di sisi lain ada bencana tak terhindarikan sebagai akibat dari penemuan-penemuan baru ilmu pengetahuan. Misalnya, eksploitasi sumber daya alam yang berdampak fatal pada kerusakan ekologi, maupun berdampak sosial bagi masyarakat di sekitarnya.
“Dewasa ini tantangan kita itu semakin berat. Dinamika yang terjadi di masyarakat begitu cepat berubah dan seringkali kita sebagai ilmuwan atau akademisi tidak cukup mampu memecahkan persoalan atau isu-isu strategis bangsa yang sedang dihadapi,” kata Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Heruanto Hadna.
Di kalangan ilmuwan maupun akademisi menurut Hadna, sebetulnya sudah menyadari bahwa ada ruang-ruang kosong di antara berbagai macam ilmu, antarfakultas, bahkan antarprogram studi. Ruang-ruang kosong tersebut bisa dikembangkan guna memecahkan persoalan-persoalan praktis yang dihadapi bangsa. Sayangnya, hal tersebut belum bisa terfasilitasi oleh pemerintah karena ada hambatan birokrasi atau administrasi yang cukup mengganggu.
Di perguruan tinggi, fakultas masih menjadi satu-satunya pilar pengembangan ilmu saat ini. Oleh karena itu, sumber daya manusia di bidang akademik seperti dosen atau tenaga pengajar haruslah berangkat dari fakultas, meskipun nanti beberapa akan ditugaskan pula di sekolah pascasarjana maupun di pusat studi.
“Ini yang menurut saya perlu ditinjau ulang. Jika fakultas-fakultas mau berdialog mungkin saja ruang-ruang kosong tadi bisa terisi, namun rata-rata belum bisa. Di sinilah peran penting sekolah-sekolah pascasarjana atau graduate school menjadi ruang dialog antarilmu, antarfakultas,” kata Hadna lagi.
Pengembangan sekolah-sekolah pascasarjana merupakan strategi pertama untuk memecah kakunya dialog antarfakultas atau antarilmu. Di sini para ilmuwan atau akademisi dimungkinkan untuk berkembang dan bersinggungan dengan ilmu-ilmu yang lain mengingat karakteristik ilmu di sekolah pascasarjana yang interdisipliner. Tidak hanya fakultas, sekolah-sekolah pascasarjana pun perlu dikembangkan untuk menjadi pilar penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Strategi kedua, ada keleluasaan bagi para mahasiswa untuk mengambil mata kuliah antarfakultas. Hal ini sebetulnya merupakan angan-angan dari dulu yang hingga kini belum terwujud. Namun, terkendala karena persoalan administrasi seperti pembiayaan uang kuliah. Inilah yang menjadi penghambat secara tidak langsung bagi pengembangan ilmu, menurut Hadna.
Strategi ketiga, ada media lain yang bisa digunakan sebagai ruang dialog antarilmuwan yang berangkat dari masing-masing disiplin ilmu, yakni di pusat-pusat studi. Ciri khas dari pusat studi adalah dinamika kajian atau penelitiannya yang interdisipliner. Di pusat studi menjadi lebih fleksibel karena antarilmuwan, antarpakar bisa saling bertemu dan diskusi beragam persoalan serta isu-isu strategis. Ada banyak sudut pandang di sana yang bisa menjadi rekomendasi atau masukan, tidak hanya satu sudut pandang saja.
“Jika ingin bisa bersaing dalam dunia pendidikan internasional, maka penting bagi perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, tak terkecuali UGM untuk mengembangkan sekolah-sekolah pascasarjananya. Untuk menuju ke sana, sudah waktunya kita mengurai kekakuan antarilmu,” jelas Hadna.
Negara-negara di Eropa dan Amerika sudah jauh lebih dulu mengembangkan ilmu-ilmu interdisipliner dengan tema-tema yang spesifik. Contohnya, MSc in Evidence-Based Social Intervention and Policy Evaluation di Universitas Oxford, kemudian MS dan PhD in Population Health and Epidemiology Program di Universitas Wisconsin-Madison, atau Reproduction and Pregnancy MRes di The University of Manchester, dan masih banyak lagi. [] Media Center PSKK UGM | Photo Wisudawan Sekolah Pascasarjana UGM/http://mmpt.pasca.ugm.ac.id/