Yogyakarta, PSKK UGM – Berbeda dengan situasi di masa lampau. Kaum perempuan saat ini sudah relatif memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan potensi di dalam dirinya. Tidak sedikit perempuan yang bekerja di pemerintahan, bergelut dalam usaha bisnis, aktif dalam bidang pendidikan, kesehatan, hingga menonjol dalam berpolitik. Tidak hanya bergiat di ruang domestik, perempuan kini juga leluasa dalam wilayah-wilayah publik.
Namun demikian, perempuan masih menghadapi persoalan klasik yang sama, yakni status. Siapapun dia, baik kaya maupun miskin, berpendidikan tinggi maupun rendah, muda maupun tua, ternyata belum benar-benar terbebas dari kekerasan, dominasi oleh pihak lain, bahkan praktik peminggiran atau pembungkaman. Hal itu disampaikan oleh Sri Marpinjum, Aktivis Perempuan dan Pendiri Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA) Yogyakarta dalam Diskusi Seri 1 “Emansipasi, Kesetaraan dan Keadilan Gender” dalam rangka Peringatan Hari Kartini 2016 di Aula Gedung Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Kamis (28/4).
“Kaum perempuan masih menghadapi beragam tantangan. Peringatan Hari Kartini ini menjadi kesempatan bagi kita untuk membangun ulang dan menegakkan kepemimpinan pribadi atau individual,” kata Sri.
Mengapa kepemimpinan individual dan bukannya kolektif? Sri menyampaikan, dalam teori ilmu sosial ada yang dikenal dengan Teori Agensi. Agensi merupakan kemampuan atau kapasitas individu untuk bertindak mandiri dan membuat pilihan bebas mereka sendiri. Setiap orang tak terkecuali perempuan bisa menjadi agenda. Dalam struktur sosial yang tidak adil, perempuan mempunyai pilihan menjadi agen. Agen dalam mendorong perubahan tatanan masyarakat yang lebih adil baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Menurut Sri, kepemimpinan individual perempuan adalah pergerakan sebuah kontinum dari pemberdayaan ke advokasi. Di saat struktur sosial yang tidak adil sedemikan kuatnya sehingga membuat perempuan tidak berdaya, maka pada saat itu pula perempuan harus bertahan dan bangkit memberdayakan dirinya. Dan di waktu yang sama, menyeimbangkan pula tekanan struktur yang tidak adil tersebut dengan bergerak melakukan advokasi.
“Perempuan adalah agen penyeimbang relasi kuasa sebetulnya. Kartini melakukan hal itu di masanya. Dia mulai dari dirinya sendiri. Gerakan individualnya itu meluas dan mampu mengubah lingkungan sosialnya, bahkan hingga kini tetap diterima karena pokok-pokok pikirannya yang masih sangat relevan,” kata Sri lagi.
Hal yang serupa juga disampaikan oleh Ita Vissia, Dosen Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma dalam kesempatan forum diskusi yang sama. Ita mengatakan, gerak individu Kartini tidak hanya berupa korespondensi, namun juga menulis cerita pendek, puisi, artikel, bahkan memorandum. Tulisan maupun petisinya tersebut ditujukan kepada teman, masyarakat, dan pejabat kolonial Belanda dengan tujuan untuk menunjukkan pada masyarakat Belanda tentang kehidupan pribumi di masa itu. Soal ketertindasan, batik, feodalisme Jawa, dan lain-lain. Apa yang Kartini lakukan tak lain juga untuk mempengaruhi pemerintah kolonial supaya lebih memperhatikan masyarakat pribumi, sekaligus mendesak mereka melakukan kebijakan pengajaran dan pendidikan.
“Kakak Kartini, yakni Kartono pernah berpidato di Belanda soal perlunya menambah tenaga kerja laki-laki lokal sebagai tenaga administrasi di Belanda. Sementara Kartini mendesak pemerintah kolonial untuk secara khusus memperhatikan pendidikan bagi kaum perempuan pribumi. Perjuangan Kartini sebetulnya bukan hanya soal laki-laki dan perempuan, dia sampai pula pada kritik terhadap feodalisme, sistem yang tidak adil dan nyata dihadapi masyarakat di masa itu,” jelas Ita.
Serial pertama diskusi ini merupakan bagian dari Diskusi Berseri “Perempuan, Keluarga, dan Kesetaraan” yang diselenggarakan oleh LSPPA Yogyakarta, Mitra Wacana, PKBI, SCN CREST, dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. Diskusi serial ini merupakan upaya untuk menghidupkan kembali diskusi berseri yang pernah dilakukan pada 2012 sampai 2014. Tujuannya, untuk menyediakan wadah bertukar pikiran di antara pemerhati perempuan lintas profesi dan ilmu, menemukenali perkembangan pemikiran perempuan dan merumuskan pemikiran reflektif kontekstual, serta memperkuat wacana sebagai dasar advokasi untuk pemberdayaan perempuan. Adapun serial kedua diskusi akan mengangkat tema “Perempuan dan Pendidikan” dan rencananya diselenggarakan pada Juli 2016. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi aksi perempuan Kendeng di depan Istana Negara #dipasungsemen/liputan6.com