JAKARTA, KOMPAS – Para bupati dan wali kota wajib berinovasi meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan menghapus kebijakan yang menghambat investasi. Inovasi juga harus disertai kemampuan berkomunikasi yang baik dengan lembaga, tokoh masyarakat, ataupun kepala daerah lain.
Guna mendukung inovasi, sinergi antardaerah dan koordinasi antara kota/kabupaten dengan provinsi mutlak diperlukan. Kekompakan antar-kabupaten/kota menjadi kekuatan untuk mengatasi berbagai persoalan, seperti bencana banjir atau kemacetan.
"Pelayanan masyarakat, seperti pembuatan kartu tanda penduduk atau akta kelahiran, itu sekarang hitungannya bukan hari, tetapi jam dan kalau bisa gratis," kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo seusai mengikuti pelantikan 17 kepala daerah hasil Pilkada serentak 2015 di Jawa Timur yang diadakan di Gedung Grahadi, Surabaya, Jatim, Rabu (17/2). Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga hadir dalam acara itu.
Selain 17 kepala daerah di Jatim, pelantikan juga dilakukan terhadap 182 kepala daerah lain di ibu kota provinsi masing-masing oleh gubernur setempat. Pelantikan di ibu kota provinsi ini merupakan sejarah baru.
Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Sebelum UU itu lahir, bupati/wali kota serta wakilnya dilantik di kabupaten/kota masing-masing dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo, mengatakan, aturan itu lahir tak sebatas karena alasan teknis yaitu gubernur tak mungkin datang ke tiap kabupaten/kota. Lebih dari itu, hal ini dilakukan agar bupati/wali kota sadar bahwa secara hierarki, di atas mereka ada gubernur. Kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah, mereka harus tunduk dan patuh. Setiap kebijakan yang mereka ambil pun harus selaras dengan kebijakan pemerintah provinsi.
"Bupati/wali kota masih bisa berinovasi, masih memiliki otonomi yang luas, tetapi kebijakan yang dikeluarkan tidak boleh bertentangan dengan gubernur," ujarnya.
Bisa jatuhkan sanksi
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan membenarkan hal itu. Aturan baru itu lahir setelah melihat fenomena banyaknya wali kota/bupati yang tidak menghormati gubernur.
Selama ini, menurut dia, banyak bupati/wali kota tak mau hadir saat diundang rapat oleh gubernur. Kebijakan gubernur pun sering tak diikuti. Padahal, gubernur, wali kota, dan bupati penting bergerak bersama supaya pemerintahan di daerah teratur dan arah pembangunan provinsi dan kabupaten/kota padu untuk kesejahteraan rakyat.
Untuk mencegah ketidaktaatan dan ketidakpatuhan, gubernur diberi kewenangan menjatuhkan sanksi kepada bupati/wali kota dan wakilnya berupa teguran hingga pemberhentian tetap. Ini diatur dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Seruan mengikuti kebijakan pemerintah pusat juga diserukan Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi. Sebanyak 15 bupati/wali kota diminta menyinkronkan pembangunan daerahnya dengan Nawacita.
Abaikan instruksi
Sementara itu, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, kemarin, menolak melantik Bupati Konawe Selatan. Ia mengabaikan instruksi Mendagri terkait hal itu. Nur Alam menolak melantik Surunuddin Dangga-Arsalim karena menilai masih ada proses gugatan terhadap Arsalim yang belum tuntas di pengadilan. Arsalim digugat karena dinilai belum mundur dari jabatannya sebagai pegawai negeri sipil.
Sikap tersebut sangat disayangkan Kemendagri. "Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Jadi instruksi pusat, dalam hal ini Mendagri, seharusnya ditaati," ujar Sekjen Kemendagri Yuswandi A Temenggung.
Menurut Yuswandi, KPU Konawe Selatan dan DPRD Konawe Selatan sudah menjelaskan persoalan itu ke Kemendagri. Arsalim sudah mengajukan surat mundur dari PNS dan sudah tidak lagi bekerja sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Konawe Selatan. [] (APA/NIT/ITA/DEN/SEM/WSI)
*Sumber: Harian Kompas, 18 Februari 2016 | Foto pelantikan bupati & walikota serentak/suara.com