KEFAMENANU, KOMPAS – Kekerasan seksual terhadap anak masih kerap terjadi di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Kemiskinan dan kurangnya pengawasan orangtua merupakan faktor penyebab utama.
"Dari 58 kasus yang dilaporkan ke Yayasan Amnaut Bife Kuan pada 2014 dan 79 kasus pada 2015, sebanyak 60 persen adalah kekerasan bernuansa seksual terhadap anak. Baru kemudian kekerasan domestik rumah tangga. Usia korban berkisar 12-15 tahun," kata Ketua Pelaksana Harian Yayasan Amnaut Bife "Kuan" (Yabiku) Anton Efi, Selasa (16/2), di Kefamenanu. Yabiku merupakan satu-satunya lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada perlindungan serta advokasi perempuan dan anak korban kekerasan di Timor Tengah Utara.
Kekerasan seksual merupakan bagian kejahatan terhadap anak yang berupa pornografi dan eksploitasi. Secara nasional, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2011-2015 menyebutkan, terdapat 2.276 kasus bernuansa seksual terhadap anak. Angka tersebut merupakan 12 persen dari total 18.356 kasus kekerasan terhadap anak.
Menurut Anton, kekerasan seksual yang terjadi pada anak umumnya kekerasan dalam pacaran. Di samping itu juga terdapat pelecehan-pelecehan seksual yang dilakukan orang-orang di sekitar anak, seperti tetangga, paman, atau saudara yang lebih tua. "Ketika ditanya, para pelaku mengatakan alasannya adalah karena mereka merasa lebih berkuasa, baik secara usia, kekuatan fisik, maupun status sosial, ketimbang korban," katanya.
Hal serupa diungkapkan Maria Detilda Eko, salah seorang paralegal binaan Yabiku yang mendampingi korban di Desa Maubesi. Kasus yang ia tangani di antaranya pelecehan seorang bocah perempuan berusia 5 tahun oleh tetangganya yang berusia 14 tahun.
"Umumnya, anak-anak tersebut tidak bermaksud melecehkan. Mereka tidak memahami batasan yang pantas ketika bergaul dengan lawan jenis sehingga candaan mereka berakhir dengan pelecehan," ujar Detilda.
Oleh karena itu, para paralegal di Desa Maubesi melakukan sosialisasi setiap bulan ke sekolah-sekolah mengenai bahaya kekerasan seksual. Mereka mengajarkan anak-anak perilaku yang pantas ketika menyukai ataupun berpacaran dengan lawan jenis. "Jadi, ketika anak-anak tidak di bawah pengawasan orangtua, mereka bisa menjaga diri dan langsung menghindar kalau situasi dirasa mulai tidak aman," kata Detilda.
Masyarakat patembayan
Dihubungi terpisah, Warsono, sosiolog dari Universitas Negeri Surabaya, menjelaskan, kekerasan seksual terhadap anak oleh orang-orang terdekat merupakan bukti perubahan masyarakat desa menjadi komunitas patembayan. Dulu, masyarakat desa berbentuk paguyuban, yaitu orang- orang yang saling bergantung dan memiliki kebutuhan serupa. "Akhirnya, muncul konsep bahwa seorang anak diasuh oleh masyarakat di lingkungannya. Tetangga saling menjaga," ucapnya.
Arus informasi dan ketimpangan ekonomi membuat masyarakat desa terpinggirkan sehingga mereka sulit memenuhi kebutuhan pokok. "Paguyuban berubah menjadi patembayan yang individualis dan hanya memikirkan pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Kepedulian terhadap orang-orang di sekitar pun meluntur. Makanya, para pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak merasa turut bertanggung jawab menjaga dan mendidik anak-anak di sekitar mereka," kata Warsono. (DNE)
*Sumber: Harian Kompas, 17 Februari 2016 | Ilustrasi kekerasan terhadap anak/ibtimes.co.uk