Yogyakarta, UGM – Di balik tingginya tingkat konsumsi rokok di Indonesia, terdapat industri bernilai ratusan juta dolar dengan ratusan ribu orang yang menggantungkan kehidupan mereka pada industri ini. Jenis tenaga kerja yang banyak diserap oleh industri rokok adalah tenaga kerja low-skilled yang dipekerjakan sebagai buruh pabrik dan sebagian besar dari mereka adalah perempuan.
"Kebanyakan perempuan yang bekerja sebagai buruh dalam industri rokok adalah perempuan yang menjadi sumber penghasilan utama bagi keluarga mereka," ujar Dr. Ratna Saptari dalam diskusi bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM dengan tema Mobilitas Modal, Proses Kerja, dan Dinamika Gender dalam Rantai Produksi Industri Rokok, Rabu (3/2) di Auditorium Gedung Masri Singarimbun.
Dalam diskusi ini ia memaparkan hasil penelitiannya terhadap pekerja perempuan di pabrik rokok Sampoerna yang berada di Surabaya dan Jombang. Saat ini, menurutnya, pabrik rokok lebih banyak mempekerjakan perempuan dibandingkan dengan laki-laki, karena pekerja laki-laki lebih banyak terlibat di serikat buruh dan kerap melakukan aksi mogok kerja sehingga dapat menghambat proses produksi.
Buruh perempuan yang dipekerjakan di pabrik ini sebagian besar berasal dari daerah-daerah di sekitar lokasi pabrik. Namun, ada juga perempuan yang merantau dari desa yang cukup jauh dengan berbagai alasan, salah satunya untuk keluar dari tekanan keluarga. “Saya sempat berbicara dengan salah satu perempuan yang bercerita bahwa awalnya ia datang ke Surabaya untuk melarikan diri dari kawin paksa, sampai akhirnya ia bekerja di pabrik ini dan bertahan hingga belasan tahun,” ujar pengajar di Universitas Leiden, Belanda ini.
Dalam industri ini mereka dituntut untuk mengikuti suatu standar kerja yang mengharuskan mereka untuk memproduksi rokok sesuai target yang diberikan. Kemudian setiap bulannya, manajemen pabrik akan melakukan evaluasi apakah masing-masing kelompok telah mencapai target yang ditentukan, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Jika dalam suatu kelompok terdapat satu orang saja yang tidak mencapai target, seluruh kelompok tetap akan terkena teguran atau sanksi.
Meski pekerjaan ini terbilang cukup monoton dengan jam kerja yang relatif panjang, para buruh perempuan tetap bertahan pada pekerjaan ini. Banyak dari mereka yang telah bekerja sebagai buruh selama lebih dari 10 tahun. Manajemen pabrik pun menggunakan berbagai cara untuk membuat para buruh merasa diperhatikan, misalnya dengan memutarkan lagu sembari para buruh bekerja, serta membuat mekanisme penyampaian keluhan dari para buruh secara pribadi, sebelum keluhan tersebut tersebar dan justru menimbulkan protes secara kolektif yang akan merepotkan manajemen. Selain itu, untuk meningkatkan semangat kerja para buruh, perusahaan pun mengadakan program-program seperti pertandingan pencapaian target antar pabrik menggunakan sistem ranking disertai tawaran insentif bagi kelompok yang paling produktif. (Humas UGM/Gloria)
*Sumber: UGM | Photo Ratna Saptari/cpps.dok