Jakarta, Berita Satu – Jumlah remitansi atau aliran uang tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Tanah Air diperkirakan mencapai US$ 10,5 miliar pada 2015, meningkat dibandingkan US$ 8,3 miliar (Rp 97 triliun) pada 2014.
Sebagian besar uang tersebut, sebagaimana biasanya, disalurkan ke rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta membiayai pendidikan dan keperluan anak.
Berdasarkan laporan Bank Dunia, bertema Migration and Remmitances Factbook 2016 yang terbit pekan lalu, Indonesia merupakan negara penerima remitansi terbesar ke-4 di dunia. Peringkat pertama ditempati oleh India dengan jumlah US$ 72,2 miliar, disusul Tiongkok US$ 63,9 miliar, dan Filipina US$ 29,7 miliar.
Laporan itu mengungkapkan remitansi pekerja migran berperan besar dalam pembangunan nasional, serta menopang jutaan rumah tangga di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Uang yang dikirimkan TKI itu umumnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta membiayai pendidikan dan keperluan anak,” bunyi laporan tersebut.
Dari total remitansi TKI itu, menurut peneliti di Researsch Asia Institute Dr. Silvia Mila Arini, hanya sedikit yang dipakai untuk investasi fisik, seperti membeli ternak, disimpan dalam bentuk deposito, membeli lahan pertanian dan peralatan pertanian, serta berdagang.
Hal ini, lanjutnya, tidak mengejutkan sebab motivasi para pekerja migran adalah untuk menopang kehidupan keluarga atau rumah tangganya.
Pekan ini, secara global, pekerja migran bakal menembus 250 juta jiwa tahun 2015. Adapun remitansi yang mengalir ke negara asal diprediksi mencapai US$ 601 miliar. Dari jumlah ini, sebesar US$ 44 miliar di antaranya mengalir ke negara berkembang.
"Tiga kali lebih besar ketimbang dana bantuan pembangunan. Remitansi pekerja migran bakal menyokong hidup jutaan rumah tangga di negara berkembang. Sebagai tambahan pekerja migran internasional juga mampu menyimpan lebih dari US$ 500 miliar per tahun," kata Dilip Ratha, salah seorang penulis factbook, dalam situs resmi Bank Dunia itu.
Tahun lalu, Amerika Serikat menjadi negara sumber remitansi terbesar, sekitar US$ 56 miliar. Diikuti Arab Saudi US$ 37 miliar, dan Rusia US$ 33 miliar. Indonesia berada di empat terbawah, sekitar US$ 4,1 miliar.
Berdasarkan laporan tersebut, arus migrasi antarnegara berkembang (south-south) lebih dominan ketimbang negara berkembang ke negara maju (south-north).
Pada 2013, migrasi selatan-selatan mencapai lebih dari 38 persen dari total migrasi internasional, sedangkan migrasi selatan-utara hanya 34 persen. Pada periode itu, sepuluh negara tujuan migrasi adalah Amerika Serikat, Arab Saudi, Jerman, Rusia, Uni Emirat Arab. Lalu disusul Inggris Raya, Prancis, Kanada, Spanyol, dan Australia.
Sayangnya, menurut peneliti Asia Research Institute Dr. Silvia Mila Arlini, para migran perempuan atau tenaga kerja Indonesia cenderung mengirimkan lebih banyak uang kepada rumah tangga mereka. Berdasarkan jenis pekerjaan, migran perempuan yang bekerja di sektor domestik cenderung mengirimkan uang lebih banyak dibandingkan dengan tiga pekerjaan lainnya yang didominasi oleh laki-laki, misalnya di sektor pertanian, konstruksi, dan produksi.
Sebagian besar remitansi digunakan untuk mencukupi keperluan sehari-hari (35 persen), selain biaya pendidikan dan keperluan anak-anak (26 persen). Tingginya penggunaan uang kiriman TKI untuk kepentingan sosial bukan hal yang mengejutkan karena itulah motivasi utama mereka bermigrasi untuk bekerja. Hanya ada sedikit rumah tangga yang menggunakan uang kiriman untuk investasi fisik seperti membeli lahan pertanian, deposito bank, ternak, alat-alat pertanian maupun bisnis.
“Dalam hal ini, dapat ditunjukkan bahwa migrasi bisa berperan sebagai salah satu strategi penting untuk peningkatan kehidupan yang lebih baik, terutama bagi rakyat miskin,” kata Silvia.
Penelitian yang berangkat dari survei rumah tangga ini merekomendasikan beberapa hal agar bisa menjadi masukan bagi pemerintah. Pertama, mendukung diversifikasi pendapatan. Mila menyampaikan, remitansi telah menjadi komponen penting dan besar bagi sumber pendapatan keluarga migran.
Namun, saat migran kembali ke Tanah Air, remitansi tidak bisa lagi dijadikan andalan bagi sumber pendapatan keluarga. Penelitian menemukan, remintansi tidak diinvestasikan untuk modal agar pendapatan rumah tangga tidak terus tergantung pada uang kiriman.
“Untuk itu, migran dan keluarganya sebaiknya didorong mengurangi ketergantungannya terhadap remitansi. Saat memiliki remitansi yang cukup besar, perlu didorong agar menginvestasikannya pada sektor ekonomi yang produktif,” jelas Silvia.
Untuk mendukung hal tersebut, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia pada 2015 melalui BNP2TKI, yakni menjalankan program Pemberdayaan Terintegrasi bagi 15.000 TKI Purna dan keluarganya, TKI Bermasalah, serta WNI-Overstayers di sejumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
“Kegiatan ini diselenggarakan untuk mendukung program pemulangan TKI Bermasalah (TKI-B)/WNI Overstayers (WNI-O) agar dapat mengelola dan memanfaatkan uang hasil bekerja dari luar negeri untuk hal-hal yang produktif, sehingga mereka tetap dapat memperoleh penghasilan di dalam negeri.” ujar Direktur Pemberdayaan BNP2TKI, Arini Rahyuwati, dalam pernyataan pers yang diterima redaksi.
Dalam Program Pemberdayaan Terintegrasi ini, pemerintah juga turut menggandeng Mitra Industri, Mitra lokal, serta lembaga keuangan mikro guna memperkuat program tersebut.
Kedua, memfasilitasi migrasi yang aman. Migrasi bagi tenaga terampil maupun tidak terampil dapat menjadi salah satu jalan keluar dari masalah kemiskinan di pedesaan. Upaya menghalangi migrasi dikhawatirkan hanya akan membatasi akses ke migrasi legal, sekaligus mengurangi kesempatan masyarakat miskin untuk memperbaiki status sosial ekonominya. Untuk memfasilitasi migrasi yang aman melalui jalur resmi, akses kredit mungkin dapat diupayakan, seperti melalui koperasi simpan pinjam atau pinjaman bank.
Ketiga, menggalakkan pendidikan yang lebih tinggi. "Tidak dipungkiri, banyak pekerja migran berkeinginan agar anaknya dapat bekerja pada jenis pekerjaan dengan ketrampilan tinggi yang biasanya juga memerlukan standar pendidikan minimal cukup tinggi,” jelas Silvia lagi. [] /HA PR
*Sumber: Berita Satu | Ilustrasi Kepulangan TKI/gresnews.com