155 Calon Pekerja Migran Datang ke Batam Tanpa Identitas
BATAM, KOMPAS – Sindikat pengiriman pekerja migran secara ilegal terus beraksi di Batam, Kepulauan Riau. Terakhir, polisi dan petugas Dinas Sosial Batam menemukan 155 calon pekerja migran yang diduga ilegal di penampungan di kawasan Jodoh, Selasa (17/11) malam.
Tempat penampungan itu merupakan rumah toko (ruko) tiga lantai yang selalu tertutup. Sebanyak 63 perempuan dan 92 laki-laki ditempatkan di ruko yang di depannya terpasang papan nama bertuliskan PT BBI dan PT BE yang bergerak di bidang aneka jasa dan perdagangan. Tidak ada keterangan bahwa PT BBI atau PT BE merupakan perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (TKI).
Tempat penampungan itu tidak dilengkapi kamar dan tempat tidur. Sebanyak 155 orang itu tidur beralas tikar, plastik bekas spanduk, dan koran. ”Mereka harus berdesak-desakan karena ruangan tidak cukup,” ujar Kepala Bidang Bantuan Jaminan Sosial Dinas Sosial Batam Noor Arifin, Rabu, di Batam.
Para calon pekerja migran itu dibawa ke tempat penampungan sementara milik Dinas Sosial Batam. Petugas lalu mendata nama dan daerah asal mereka serta siapa saja yang sudah menikah dan belum.
Noor menambahkan, mayoritas calon pekerja itu berasal dari Jawa. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Batam akan menghubungi pemerintah daerah asal para calon pekerja itu. Pemerintah Kota Batam juga berkoordinasi dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI untuk pemulangan mereka.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Barelang Komisaris Yoga Buana menyatakan, kepolisian masih menyelidiki penampung para calon pekerja migran tersebut.
Tanpa identitas
Sejumlah calon pekerja migran mengatakan tidak mempunyai bukti identitas saat datang ke Batam. Semua dikatakan akan diurus oleh seseorang saat di Batam. Mereka dijanjikan akan mendapat paspor saat tiba di Batam.
Mereka mengatakan berangkat atas keinginan sendiri. Bahkan ada yang membayar hingga Rp 6 juta per orang melalui calo di kampung untuk bisa berangkat ke Batam. Namun, ada juga yang menyebutkan hanya membayar Rp 2 juta.
Masriah, calon pekerja, menuturkan, dirinya berangkat bersama suami, Ahmad Arifin. Ia berharap mendapat penghasilan lebih baik daripada bekerja di kampung. ”Kerja di Sampang (Jawa Timur) hasilnya kecil, tidak sampai Rp 10 juta setahun. Kerja di Malaysia bisa dapat puluhan juta rupiah,” ujarnya.
Ia pernah bekerja di Malaysia sebelum kembali tinggal di Sampang selama tiga tahun. ”Saya tidak mau dipulangkan. Tolong bawa saya ke Malaysia, biar bisa kerja di sana. Di Malaysia seperti surga, mudah dapat apa-apa,” kata Masriah.
Berdasarkan catatan Kompas, upaya pemberangkatan calon pekerja migran ilegal terus berlangsung dari Batam. Pada awal November lalu, 70 pekerja migran tertangkap petugas bea dan cukai di perairan Batam. Mereka menumpang kapal yang melaju dari Malaysia. Mereka hendak pulang ke Indonesia secara ilegal (Kompas, 4/11).
September lalu, tim PoldaKepri menegah 50 calon pekerja migran di Bandara Hang Nadim, Batam. Mereka tidak membawa identitas dan mengaku akan berangkat ke Malaysia.
Maraknya lalu lintas orang secara ilegal dari Indonesia ke Malaysia menarik perhatian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kepala BNPT Saud Usman Nasution mengatakan, jaringan radikal diduga bekerja sama dengan jaringan penyelundup manusia. Kepri merupakan salah satu pintu masuk para pencari suaka itu. Saat ini, di Batam sudah lebih dari 260 pencari suaka ditampung di salah satu hotel karena tidak ada rumah detensi memadai untuk menampung mereka. (RAZ)
*Sumber: Harian Kompas, 19 Nov 2015 | Photo TKI & Petugas Imigrasi/CNN Indonesia