Yogyakarta, PSKK UGM – Sudah banyak program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan, namun akar dari suara rumput masih tetap mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Bahkan, ada yang jenuh dan merasa telah dijadikan obyek bagi program-program tersebut.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Drs. Pande Made Kutanegara, M.Si., menyampaikan, suara dari rumah tangga miskin dan rentan perlu untuk didengar. Banyak melakukan survei tentang kemiskinan, PSKK UGM menangkap beragam suara atau aspirasi dari rumah tangga miskin dan rentan yang menjadi kelompok sasaran program. Tidak sedikit yang turut mempertanyakan haknya sebagai warga negara.
“Ada yang berharap, jika saja pemerintah memberi kemudahan kepada kami untuk memperoleh sumber daya yang tersedia. Kami ingin juga bisa menentukan nasib kami sendiri,” kata Made saat Diskusi “Penyempurnaan Peta Jalan Penurunan Kemiskinan Melalui Sinergi Program Penanggulangan Kemiskinan” yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan di Jakarta, Rabu (30/9) lalu. Hadir Tini Martini, S.H., M.Soc.Sci., Asisten Deputi Penanganan Kemiskinan di Kedeputian Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial yang memimpin jalannya diskusi.
Bagi Made, untuk mengukur keberhasilan program, perlu berangkat dari penilaian rumah tangga miskin dan rentan. Bagaimana mereka memaknai tingkat keberhasilannya baik pada level masyarakat, keluarga atau rumah tangga, maupun individu.
Sementara itu, pemerintah terus menghadapi beberapa masalah kebijakan dalam upayanya menanggulangi kemiskinan. Wewenang dalam membangun regulasi dan sistem kontrol berada sepenuhnya di pemerintah pusat. Untuk itu, penting kiranya agar menyatukan semua kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan serta penganggaran di pusat kepada satu kementerian atau lembaga, untuk kemudian diserahkan lagi ke daerah.
Isu dan kebijakan penanggulangan kemiskinan selama ini belum terdesentralisasi dengan baik, bahkan masih sangat terpusat. Pemerintah daerah kurang memiliki keterlibatan, jika pun ada keterlibatannya sangatlah lemah. Maka, desentralisasi kewenangan dalam pendataan, perencanaan, dan penganggaran program penanggulangan harus diserahkan kepada daerah. Made menambahkan, harus ada kelenturan dalam desain kebijakan dan program yang sesuai dengan kondisi lokal.
“Kesuksesan penanggulangan kemiskinan di daerah sangat ditentukan oleh kepentingan para pemegang kebijakan di daerah masing-masing. Untuk itu, struktur birokrasi pelaksana di daerah juga harus flat dan menghindari sifat yang hirarkis dan kaku,” kata Made lagi.
Adapun model yang disarankan adalah semacam gugus tugas atau task force. Gugus tugas ini akan memiliki kewenangan mulai dari mendesain data, membuat rencana program dan kegiatan, anggaran hingga melakukan pemantauan dan evaluasi (monitoring and evaluation) yang pada praktiknya akan lebih baik jika melibatkan rumah tangga miskin dan rentan.
Lebih lanjut, gugus tugas juga didorong agar bisa menciptakan inovasi kebijakan serta program hingga kegiatan. Selama ini inovasi menjadi lemah karena adanya perbedaan kepentingan di antara para pemegang kebijakan serta lemahnya kapasitas aparatur pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sebagai regu-regu kecil dalam program penanggulangan kemiskinan, gugus tugas bisa berinovasi dengan melakukan kemitraan baik dengan swasta maupun masyarakat sipil lainnya. Ini penting karena selama ini pendekatan multistakeholder masih lemah, tidak cukup banyak keterlibatan pihak lain dalam program penanggulangan kemiskinan.
Semua itu tak lain adalah upaya guna merespon kondisi perekonomian negara yang saat ini semakin melemah, tersendatnya capaian penurunan angka kemiskinan, serta terkontaminasinya situasi sosial budaya masyarakat terkait program-program penanggulangan kemiskinan. Maka, perencanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan harus dilakukan dengan lebih cermat dan strategis. [] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi forum warga/wordpress