TEMPO.CO, Yogyakarta – Ekonom dari Australia National University (ANU), Chris Manning, memberikan sejumlah saran agar Indonesia mampu menyamai Cina dan India sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia yang baru.
“Bonus demografi yang dimiliki Indonesia tidak menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang pesat tanpa ada reformasi sistem pendidikan,” ujar Chris dalam Seminar Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Kependudukan di Indonesia di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM pada Kamis sore, 17 September 2015.
Chris menyarankan Indonesia mengubah strategi pembangunan di bidang pendidikan dengan lebih menitikberatkan aspek kualitas dan tidak lagi mengejar target kuantitas. "Di Cina, knowledge based society dianggap penting," kata dia.
Perbaikan kualitas pada sistem pendidikan, kata Chris, harus diimbangi dengan lompatan di sektor industri. Ia berpendapat pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melesat apabila sektor industri domestik berhasil didorong masuk ke dalam jaringan produksi global. Ini sekaligus mengatasi masalah migrasi tenaga kerja Indonesia ke negara-negara tetangga yang menawarkan pendapatan lebih tinggi.
Karena itu, Chris berpendapat Indonesia harus menuntaskan problem konektivitas antar- daerah. Menurut dia, disparitas laju pembangunan juga mendesak untuk diatasi, terutama di Indonesia timur. "Dana desa bisa jadi isu kebijakan yang penting, sebab nilainya besar dan bisa berefek ke pembangunan berkelanjutan," kata Chris.
Pakar lain dari Australia National University yang juga hadir di seminar itu, Profesor Hal Hill, mengingatkan soal pembangunan yang belum merata. Dia mencontohkan pendapatan provinsi terkaya di Indonesia masih 15 kali lipat dibanding daerah termiskin. "Kabupaten terkaya pendapatannya 50 kali lipat dibanding kabupaten termiskin," kata dia.
Menurut Guru Besar Kebijakan Publik di Crawford School ANU tersebut perekonomian di negara raksasa seperti Indonesia tak hanya bisa dilihat dari level nasional. Situasi di tingkat lokal juga penting untuk dicermati.
Hill berpendapat negara-negara di ASEAN memerlukan reformasi sistem pendidikan yang berorientasi pada kualitas, persiapan menghadapi transisi demografi yang cepat, dan mengatasi ketimpangan pertumbuhan. Masyarakat ASEAN juga perlu berfokus memperbaiki institusi birokrasi, sistem hukum dan pemerintahan, mengelola risiko kerusakan lingkungan akibat industrialisasi, dan membangun komunitas bisnis yang kuat.
Menurut Hill, negara-negara ASEAN tidak sekompak Uni Eropa karena orientasi pasar ekspornya justru ke luar ASEAN.
Meski demikian, dia memuji kemampuan negara-negara di ASEAN karena memiliki daya lenting hebat dalam menghadapi krisis ekonomi seperti pada 1998. "Dulu banyak buku-buku ekonomi yang meramalkan negara-negara di ASEAN sulit maju, tapi ternyata banyak yang salah," ucap Hill. [] Addi Mawahibun Idhom
*Sumber: Tempo Online