Yogyakarta, PSKK UGM — Standar pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan telah diatur melalui Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan No. 01 Tahun 2010. Kendati demikian, Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtPA) belum menjadi salah satu dari pelayanan dasar.
Deputi Bidang Perlindungan Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA), dr. Heru Prasetyo Kasidi, M.Sc. mengatakan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hanya mengatur enam jenis pelayanan dasar, yakni SPM bidang pendidikan, kesehatan, sosial, infrastruktur, pemukiman, dan keamanan. SPM bidang layanan terpadu perempuan dan anak merupakan sebagian urusan wajib yang tidak termasuk pelayanan dasar.
Oleh karena itu, KPP-PA membutuhkan strategi untuk bisa duduk bersama dan membangun mekanisme koordinasi dengan berbagai kementerian maupun lembaga terkait, antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, Kejaksaan Agung. Mahkamah Agung, Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Badan PP baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Tujuannya untuk mengintegrasikan sekaligus mensinergikan SPM bagi korban kekerasan dengan SPM layanan dasar lainnya.
“Kita perlu memastikan, penanganan korban kekerasan menjadi kebijakan sektoral, menjadi basis pelayanan sosial, pelayanan kesehatan serta pelayanan hukum. Kebijakan ini harus diintegrasikan ke dalam kebijakan di masing-masing kementerian, di masing-masing sektor,” kata Heru saat membuka “Pertemuan Konsultasi dalam Rangka Implementasi Standar Pembiayaan (Costing) untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” di Akmani Hotel, Selasa (4/8).
Selain persoalan kebijakan yang multisektoral, hal lain yang perlu diperhatikan adalah kualitas serta pembiayaan layanan. Pelayanan apa saja yang harus diberikan kepada mereka yang mengalami kekerasan? Apakah membutuhkan layanan pengobatan hingga konseling? Lalu bagaimana dengan konsekuensi biayanya?
Heru mengatakan, masih banyak hal yang harus dicermati satu per satu dalam pembiayaan pelayanan bagi korban KtPA karena menyangkut kebijakan (kebijakan daerah versus kebijakan nasional), pemahaman para pengambil kebijakan dan pelaksana pelayanan, standar biaya, kemampuan anggaran pemerintah daerah, dan lain-lain. Penyusunan SPM layanan korban KtPA merupakan pertimbangan serta perhitungan berdasarkan pengetahuan yang terbaik pada saat itu.
Adapun studi yang baru-baru ini dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada bertujuan untuk memetakan jenis layanan apa saja yang tersedia bagi korban KtPA dan bagaimana peran lembaga multisektoral. Studi ini juga bertujuan untuk memetakan pembiayaan di masing-masing lembaga. Bagi Heru studi ini mampu memberikan gambaran bagi berbagai pihak khususnya KPP-PA tentang hal-hal apa yang sudah dicermati maupun yang belum.
Sementara itu Peneliti PSKK UGM, Dr. Wenty Marina Minza, M.A. dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan, sasaran studi adalah lembaga-lembaga yang memberikan layanan bagi korban KtPA dan dibagi menjadi tiga kluster, yaitu lembaga kesehatan, lembaga sosial, dan lembaga hukum. Studi dilakukan di dua lokasi, yaitu DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Untuk lembaga kesehatan, PSKK UGM mendatangi beberapa rumah sakit dan puskesmas seperti RSUD Cengkareng, Puskesmas Palmerah di Jakarta, kemudian RS Panti Rapih, RSUD Gunungkidul, Puskemas Tegalrejo di Yogyakarta. Untuk lembaga sosial ada WCC Pulih, LBH APIK, dan Rifka Annisa. Sementara lembaga hukum, antara lain UPPA Polda Metro Jaya, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, Pengadilan Negeri Cibinong, UPPA Polda DIY, Kejaksaan Negeri Sleman, dan Pengadilan Negeri Sleman.
“Studi yang dilakukan adalah studi kasus maka salah satu limitasi dari studi ini adalah kita tidak dapat melakukan generalisasi terhadap hasilnya. Namun, instrumen yang dipakai adalah kuesioner yang biasa digunakan dalam survei-survei besar. Kuesionernya pun kami bagi sesuai kluster tadi, yaitu pelayanan kesehatan, penegakan hukum, dan sosial,” jelas Wenty. [] Media Center PSKK UGM | Photo kegiatan/dok KPP-PA