Yogyakarta, PSKK UGM — Ada beberapa persoalan yang menjadi sorotan masyarakat Kota Yogyakarta terkait dengan kualitas pelayanan di puskesmas. Namun, soal ketersediaan fasilitas puskesmaslah yang paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Triyastuti Setianingrum, M.Sc. mengatakan, menurut hasil Survei Pengaduan Masyarakat Terhadap Pelayanan Puskesmas Kota Yogyakarta pada 2014 lalu, keluhan banyak ditujukan bagi ketersediaan fasilitas bagi masyarakat berkebutuhan khusus. Di beberapa puskesmas bahkan belum memiliki fasilitas tersebut.
“Ini perlu menjadi perhatian mengingat Kota Yogyakarta telah menyatakan diri sebagai kota inklusif sehingga semua bentuk pelayanan publik termasuk puskesmas harus sensitif terhadap kelompok masyarakat berkebutuhan khusus, seperti difabel dan lansia,” kata Triyas saat Lokakarya “Pengelolaan Pengaduan Masyarakat dalam Pelayanan Puskesmas di Kota Yogyakarta” yang diselenggarakan oleh PSKK UGM, Rabu (11/2).
Selain itu, keberadaan ruang laktasi bagi ibu menyusui di puskesmas juga dinilai masih kurang atau tidak mencukupi. Sejak dikeluarkannya Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif, maka penyelenggara tempat kerja dan tempat sarana umum, tak terkecuali puskesmas harus menyediakan fasilitas khusus bagi ibu untuk menyusui dan/atau memerah ASI.
Menurut Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, F.X. Kuswinarto, persoalan ketersediaan fasilitas puskesmas tidak bisa lepas dari beberapa faktor. Pertama, terbatasnya lahan tempat puskesmas dibangun. Keterbatasan ini berdampak pada kurang memadainya beberapa fasilitas utama, seperti ruang periksa, ruang laktasi, fasilitas bagi masyarakat berkebutuhan khusus, maupun fasilitas pendukung lainnya, seperti tempat parkir dan taman. Keterbatasan seperti ini dialami oleh Puskesmas Pakualaman, Puskesmas Ngampilan, Puskesmas Kraton, Puskesmas Mergangsan, dan Puskesmas Umbulharjo 2 yang tidak terlalu luas.
“Keberadaan sarana dan prasarana yang kurang membuat layanan tidak maksimal. Misalnya, poli anak dan poli umum yang seharusnya dipisah terpaksa dijadikan satu karena tidak ada ruang lebih. Dampak lainnya, waktu tunggu bagi pasien juga menjadi lebih lama,” kata Kuswinarto
Faktor kedua, untuk perubahan struktur bangunan dan pengadaan barang diperlukan pula kebijakan dari instansi lainnya, yaitu Dinas Bangunan, Gedung, dan Aset Daerah Kota Yogyakarta. Puskesmas tidak bisa melakukan inisiatif pembangunan sendiri, melainkan harus berkoordinasi dengan DBGAD. Sementara faktor ketiga berkaitan dengan aspek anggaran sehingga realisasi terhadap kebutuhan suatu fasilitas juga harus melalui prosedur penganggaran yang berlaku.
Selain ketersediaan fasilitas, puskesmas juga menghadapi persoalan jumlah tenaga baik medis, khususnya dokter maupun nonmedis, seperti petugas loket pendaftaran, petugas farmasi, dan petugas loket pembayaran. Jumlah tenaga di puskesmas dirasa masih kurang mengingat jumlah pasien yang semakin banyak. Tak heran, meski kini semakin banyak keberadaan dokter keluarga dan klinik swasta, puskesmas masih menjadi pilihan utama masyarakat. Ditambah lagi, adanya program Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) menempatkan puskesmas sebagai penyedia fasilitas kesehatan primer.
Kuswinarto mengatakan, sebagai usulan, strategi yang dilakukan oleh Puskesmas Jetis bisa menjadi contoh bagi puskesmas lainnya. Di sana jam operasional atau praktik puskesmas sampai sore hari. Konsentrasi jumlah pasien juga bisa terpecah, tidak selalu di pagi dan siang hari. Kendati demikian, dengan catatan, ada dana untuk bisa merekrut tenaga tambahan lainnya.
“Untuk persoalan tenaga, Badan Kepegawaian Daerah memang terkendala dalam merekrut karena adanya moratorium atau penundaan penerimaan CPNS sejak tahun ini. Namun, puskesmas sebenarnya bisa merekrut atau mengontrak tenaga sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Dananya bisa diambil dari dana Badan Layanan Umum Daerah (BLUD),” jelas Kuswinarto.
Terkait kualitas pelayanan petugas puskesmas, Kuswinarto menambahkan, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta atau bahkan masing-masing puskesmas bisa mengalokasikan dana anggarannya untuk menyelenggarakan pelatihan pelayanan prima. Pelatihan ini ditujukan bagi seluruh tenaga puskesmas, bukan hanya perwakilan. [] Media Center PSKK UGM