Yogyakarta, PSKK UGM – Ada beragam tantangan yang sedang dan akan dihadapi oleh manusia Indonesia. Tidak hanya tantangan yang berasal dari dalam negeri, namun juga tantangan global dari luar. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 misalnya, manusia Indonesia akan dihadapkan pada terbukanya pasar bebas di wilayah Asia Tenggara. Persaingan tidak hanya dialami oleh produk-produk dalam negeri saja, melainkan juga sumber daya manusia Indonesia.
Sebagian orang merasa pesimis, ragu atau mungkin khawatir. Mengapa tidak, data Badan Pusat Statistik menunjukkan, Indonesia masih defisit perdagangan dengan ASEAN. Nilai impor dari pasar ASEAN pada 2014 lalu (27,490 miliar dollar AS) masih lebih tinggi dibanding nilai ekspor ke pasar ASEAN di tahun yang sama (26,424 miliar dollar AS). Artinya, Indonesia relatif masih lemah dalam memanfaatkan pasar ASEAN.
Di lain sisi, Indonesia masih menghadapi persoalan tingginya angka pengangguran terbuka. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 yang dikeluarkan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada menyebutkan, jumlah pengangguran terbuka hingga Februari 2014 mencapai 7,15 juta dari angkatan kerja sejumlah 125 juta. Setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih kurang 2 juta.
Dengan penambahan jumlah angkatan kerja tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia setidaknya harus mencapai 10 persen agar jumlah pengangguran tidak naik. Namun, realitasnya masih sangat jauh karena pertumbuhan ekonomi Indonesia baru mencapai 5,1 persen di akhir 2014 lalu. Melihat kondisi itu, beberapa pengamat memprediksi jumlah pengangguran terbuka akan terus meningkat.
Antropolog sekaligus Peneliti PSKK UGM, Pande Made Kutanegara, M.Si. dalam Seminar Dies Natalis ke-50 Fakultas Psikologi UGM “Menjadikan Indonesia Tangguh & Bahagia: Kajian Berbagai Perspektif”, Jumat (9/1) lalu mengatakan, agar mampu menjawab tantangan global, sumber daya manusia Indonesia tentulah harus tangguh. Penduduk usia produktifnya harus memiliki etos, kapasitas serta kapabilitas yang baik dalam bekerja.
“Bagaimana membangun dan mengembangkan budaya tangguh inilah yang kemudian penting bagi bangsa kita. Budaya tangguh tidak hanya tercermin dari sikap maupun perilaku namun juga dalam tataran ide, nilai, serta hasil karyanya. Untuk membentuk budaya tangguh, bisa dimulai dari individu, bisa juga dari keluarga, kelompok atau komunitas, bahkan bangsa dan negara,” kata Made.
Banyak tulisan etnografi serta antropologi seperti dari Clifford Geertz, Hildred Geertz, Niels Muder, hingga Koentjaraningrat yang berbicara tentang pentingnya peran kebudayaan dalam pembentukan sikap mental individu maupun masyarakat. Pembentukan sikap mental individu salah satunya berangkat dari pola atau budaya pengasuhan anak di dalam keluarga.
Mengutip Niels Muder, pada masyarakat Jawa, anak sedari awal berada dalam lingkungan manusia yang hangat, dan eksklusif. Rasa aman dan nyaman bisa dikatakan bersumber dari kebersamaan di dalam keluarga, maupun di dalam kelompok. Berbeda dengan budaya pengasuhan anak di barat yang sangat kental dengan nilai-nilai individualitasnya.
Kedua budaya pengasuhan anak tersebut memiliki sisi positif maupun negatif. Dari sisi negatif, pola asuh seperti pada masyarakat Jawa cenderung membentuk sikap yang kurang mandiri, tidak berani menghadapi tantangan yang baru, kurang memiliki daya dorong untuk berusaha atau pasif, serta ingin selalu hidup komunal.
“Yang dicari adalah rasa nyaman. Bisa jadi, dengan rasa nyaman itu dia merasakan bahagia. Dia bahagia namun secara sikap, dan mental tidak terlalu tangguh. Itulah persoalannya. Maka, kita perlu membangun konsep tentang ketangguhan atau budaya tangguh melalui proses transformasi di dalam masyarakat,” kata Made.
Negara bisa mulai mencoba dengan menginventaris bentuk-bentuk budaya lokal yang mencerminkan pandangan dan sikap hidup yang tangguh, tambah Made. Bentuk-bentuk budaya tangguh dari lokal tersebut dikembangkan hingga menjadi budaya ketangguhan yang kolektif.[] Media Center PSKK UGM | Ilustrasi buruh pabrik/ jktproperty.com