JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki 1,7 juta pekerja anak yang mayoritas bekerja di sektor informal. Dari jumlah tersebut, baru 63.055 anak yang ditarik dari pekerjaannya untuk dikembalikan ke sekolah sepanjang tahun 2008-2014.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), kantong pekerja anak yang cukup besar ada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.
Direktur Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Pekerja Anak Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kemenaker Budi Hartawan kepada Kompas, Selasa (30/12), di Jakarta, mengatakan, pekerja anak itu umumnya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan serta konstruksi.
”Anak-anak itu diajak bekerja oleh orangtua mereka. Kemiskinan memaksa orangtua mengikutsertakan anak-anak,” ujar Budi.
Budi menyatakan, sektor pertanian dan perkebunan serta sektor konstruksi masih menjadi lapangan kerja utama bagi masyarakat Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2013, jumlah pekerja di sektor pertanian dan perkebunan mencapai 39,2 juta orang. Pada Agustus 2014, jumlahnya turun menjadi 38,9 juta orang. Meski turun, sektor itu masih menduduki peringkat pertama dalam daftar lapangan kerja utama.
Di sejumlah wilayah Indonesia, para pemuda lebih suka meninggalkan desa dan pergi merantau. Akibatnya, lahan tidak terurus. ”Orangtua meminta anak-anak putus sekolah dan membantu mengurus lahan,” kata Budi.
Dalam sektor konstruksi, anak-anak diminta membantu orangtua mereka mengerjakan pekerjaan berat, antara lain mengangkat batu dan bahan bangunan.
Berdasarkan data BPS pada Agustus 2013, jumlah pekerja di sektor konstruksi mencapai 6,3 juta orang. Jumlah pekerja ini naik menjadi 7,2 juta pada Agustus 2014.
Koordinator Bidang Riset Social Analysis and Research Institute (SARI) Tri Hananto mengatakan, Jawa Tengah menjadi basis penelitian SARI. Menurut data BPS per Maret 2014, Jawa Tengah merupakan provinsi kedua di Indonesia dengan jumlah penduduk miskin terbanyak, yakni 4,836 juta orang.
”Sejak 2000 hingga sekarang, di Surakarta, Karanganyar, Wonogiri, dan Klaten di Jawa Tengah ditemukan pekerja anak yang bekerja sebagai pemulung, buruh bangunan, buruh di pabrik kembang api, dan tekstil UMKM,” ujar Tri.
Jumlahnya pun meningkat. Di Karanganyar, misalnya, jumlah pekerja anak di pabrik kembang api mencapai 40 orang pada 2013. Pada 2014, jumlahnya meningkat menjadi 60 orang.
Zona bebas
Menteri Tenaga Kerja M Hanif Dhakiri mengatakan, di kawasan industri padat karya juga ditemukan pekerja anak. Oleh karena itu, Kemenaker mencanangkan Zona Bebas Pekerja Anak. Perusahaan di kawasan industri diajak untuk tidak mempekerjakan anak. Kawasan Industri Makassar yang memiliki 127 perusahaan menjadi tempat percontohan program itu.
”Indonesia memiliki sejumlah kawasan industri yang rentan mempekerjakan anak, di antaranya Jabodetabek, Surabaya (Jawa Timur), dan Kutai (Kalimantan Timur). Sejauh ini Pemerintah Kota Makassar yang sudah siap. Saya menunggu komitmen pemerintah daerah lain,” kata Hanif.
Kemenaker menargetkan Indonesia bebas pekerja anak pada 2022. Pada 2015, kata Hanif, pemerintah akan menarik 16.000 pekerja anak.
Selain program Zona Bebas Pekerja Anak, Kemenaker juga memberikan subsidi dana keluarga anak dan pelatihan keterampilan. Tujuannya agar perekonomian keluarga tercukupi sehingga anak-anak tetap bisa sekolah tanpa harus bekerja. (MED)
*Sumber: Harian Kompas, 31 Desember 2014 | Photo: Pekerja anak