SELAMA ini sudah banyak perusahaan asing menguasai berbagai sektor usaha di Indonesia, baik bidang perkebunan, minyak dan gas bumi, perbankan, maupun telekomunikasi. Perusahaan asing itu tidak hanya mempekerjakan tenaga kerja asing, tetapi juga menguasai saham-saham perusahaan.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia tampaknya ”kedodoran” bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing itu. Perusahaan-perusahaan BUMN sebagai ujung tombak atau lokomotif ekonomi Indonesia seharusnya dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan swasta nasional dan swasta asing, baik di tingkat lokal maupun global.
Sayangnya, persepsi masyarakat terhadap BUMN selama ini kurang positif. BUMN kurang dapat berkiprah karena mungkin berbagai kepentingan yang menggerogoti, termasuk kepentingan politik dan bisnis para elite.
Salah satu upaya agar BUMN dapat berdaya saing adalah penempatan orang-orang yang profesional, mampu, dan berintegritas di jajaran direksi. Namun, tidak mudah mencari orang yang profesional, mampu, dan berintegritas sesuai dengan bidang usaha yang akan digeluti.
Oleh karena itu, muncul gagasan menempatkan pekerja asing di jajaran direksi BUMN. Menteri BUMN Rini M Soemarno mengatakan, menempatkan pekerja asing di jajaran direksi BUMN tidak menjadi masalah jika tidak ada orang-orang dari dalam negeri yang profesional, mampu, dan berintegritas.
”Kita membutuhkan orang-orang terbaik dan benar-benar dibutuhkan,” kata Rini. Misalnya, tenaga yang ahli dalam pemasaran produk semen untuk dapat bersaing di tingkat global atau tenaga ahli di bidang reasuransi yang menguasai strategi dan sistem reasuransi di tingkat global.
Mempekerjakan tenaga kerja atau pekerja asing di jajaran direksi BUMN bukan berarti orang asing menguasai BUMN, melainkan menjadi pegawai untuk melakukan fungsi yang dikehendaki pemegang saham. Namun, mempekerjakan orang asing sebagai tenaga ahli atau direksi di BUMN juga tidak diperlukan jika ada banyak orang Indonesia yang profesional, mampu, dan berintegritas mengisi jajaran direksi BUMN, termasuk jabatan di birokrasi pemerintah.
Selama pilihan didasarkan pada standar profesi, kemampuan, dan integritas—bukan standar kepentingan politis dan bisnis pribadi atau kelompok serta nepotisme—diharapkan masih banyak kalangan profesional dalam negeri yang dapat direkrut untuk menempati jabatan strategis di BUMN atau birokrasi pemerintah.
Apa pun pilihannya, kompetisi global terus bergerak melibas negara-negara yang tidak memiliki produktivitas yang tinggi. Dalam laporan Global Competitiveness Index 2014-2015, Indonesia menempati peringkat ke-34 dari 144 negara yang disurvei. Dengan urutan itu, Indonesia masih tertinggal dari Malaysia (20), Thailand (31), dan Singapura (1). Meski demikian, Indonesia masih berada di atas Vietnam (68) dan Filipina (52).
Mempekerjakan atau menempatkan pekerja asing di Indonesia, tidak hanya di BUMN, memang dapat menjadi isu yang sangat sensitif. Apalagi, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 semakin membuka peluang pekerja asing bekerja di Indonesia di berbagai sektor usaha dan jasa, misalnya dokter, perawat, atau pendidik di lembaga pendidikan tinggi.
Karena itu, proteksi terhadap arus pasar bebas tenaga kerja asing perlu diperhatikan. Pernyataan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja Reyna Husman dapat menjadi catatan. Reyna mengatakan, selama ini tenaga kerja lokal punya keahlian sepadan dengan tenaga kerja asing. Namun, saat pekerja lokal melamar pada pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus, perusahaan justru mengutamakan pekerja asing (Kompas, 23/12). (Ferry Santoso)
*Sumber: Harian Kompas, 24 Desember 2014 | Photo: Istimewa