Jakarta, Berita Satu – Pada akhir abad 21, yakni tahun 2100, populasi dunia diperkirakan akan mencapai 11 miliar manusia. Pertumbuhan jumlah manusia diikuti derasnya arus urbanisasi sehingga diprediksi pada 2050 sekitar 3/4 populasi dunia yaitu sekitar 9 miliar manusia akan tinggal di perkotaan.
Hal itu dikatakan oleh Chief Political Analyst in the Global Business Environment team dari perusahaan minyak dan gas asal Belanda, Shell International, Cho-Oon Khong, di Jakarta, Kamis (18/2) malam.
Menurutnya, kepadatan penduduk di perkotaan membuatnya menjadi tempat yang tidak layak huni. Kota yang semakin padat akan semakin sulit menyediakan fasilitas layanan infrastruktur untuk mewadahi aktivitas masyarakat sehari-hari.
"Jadi, ke depan akan makin banyak masyarakat kota yang tidak merasa nyaman lagi untuk tinggal di kota, karena kepadatan penduduk yang membuat ruang kota semakin sempit, kemacetan, dan kerusakan lingkungan," kata Cho-Oon.
Cho-Oon mengatakan dari segi ekonomi, pertumbuhan penduduk di perkotaan bisa menjadi peluang. Tapi di sisi lain, hal itu adalah tantangan yang sangat berat bagi sistem dan sumber daya. Dia mengungkapkan pertambahan penduduk membuat layanan kota akan semakin tidak efektif.
"Jika tidak ditangani dengan baik, urbanisasi akan memicu penurunan kualitas hidup, degradasi lingkungan makin tinggi, percepatan emisi gas CO2, masalah sosial dan politik. Kehidupan perkotaan ini tentunya akan membuat kebutuhan air, makanan dan energi meningkat," ujarnya.
Cho-Oon mengatakan masyarakat kota membutuhkan suatu lingkungan yang layak huni untuk mereka atau disebut Livable City. Livable City menjadi kata kunci dalam perencanaan kota, karena dapat menyelesaikan berbagai masalah kota yang menganggu kenyamanan dengan cara meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.
Misalnya dengan kemudahan mengakses infrastruktur (transportasi, komunikasi, air, dan sanitasi), makanan, udara bersih, perumahan yang terjangkau, lapangan kerja, serta ketersediaan ruang dan taman.
"Shell sudah melakukan riset bertahun-tahun dan mendukung terciptanya sebuah kota layak huni bagi penduduknya di masa depan," katanya.
Cho-Oon mengatakan berdasarkan laporan penelitian lingkungan yang terbaru dari Shell berjudul "New Lenses on Future Cities" (Lensa Baru pada Kota-Kota Masa Depan), terungkap ada enam tipe kota di masa depan jika ditinjau penggunaan energi dan urbanisasinya.
Kota-kota itu adalah sprawling metropolises, prosperous communities, urban powerhouses, developing mega-hubs, underprivileged crowded, dan underdeveloped urban centres.
Kota metropolitan (sprawling metropolises) cirinya selalu sibuk, padat penduduk tetapi tidak banyak konsumsi energi untuk rumah dan transportasi. Sedangkan kota yang makmur (proseperous communities) cirinya penduduk berpendapatan tinggi, kotanya tak terlalu besar, dan sangat layak huni.
Sedangkan, kota dengan energi besar (urban powerhouse) biasanya sangat padat dengan penduduk berpendapatan tinggi dan banyak memakai energi, contohnya Hong Kong, Singapura, dan New York.
Adapun contoh kota berkembang yang berpenyangga (developing mega-hubs) seperti Jakarta, dan Chongqing di China Barat daya yang berpenduduk hampir 30 juta.
Untuk kota tidak terlalu ramai (underprivileged crowded), misalnya Manila dan Bangalore. Terakhir, pusat kota yang belum berkembang (underdeveloped urban centres) yang paling banyak ditemukan, yang penggunaan energinya masih rendah.
"Kota yang padat, namun terencana dengam baik, punya infrastruktur dan pelayanan yang terintegrasi secara efektif, akan lebih efisien dalam pemakaian sumber daya. Jadi dengan penanganan yang tepat, kota-kota yang padat juga akan tetap bisa layak huni," kata Cho-Oon.
Sementara itu, Ketua Program Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia (KPP-UI), Komara Djaya, mengatakan upaya menjadikan DKI Jakarta sebagai kota layak huni tidak bisa dilakukan dengan solusi jangka pendek. Menurutnya, kebijakan pelarangan motor di jalan protokol tidak akan efektif, sebab intinya adalah penambahan jumlah transportasi publik.
"Kita tidak boleh pakai motor atau mobil sekalipun tapi tidak disediakan public transportation yang massal, tidak akan bisa karena orang harus survive, harus kerja," kata Komara.
Komara mengatakan manajer kota yang baik harus mendorong masyrakatnya memakai transportasi publik.
"Penggunaan public transportation adalah ciri demokrasi. Kalau orang naik kendaraan sendiri-sendiri, gap equality makin tampak, beda dengan ramai-ramai naik kereta atau subway," ujarnya.[] C-5/MU
*Sumber: Suara Pembaruan | Photo: Wikipedia