JAKARTA, KOMPAS — Angka pernikahan dini yang tinggi masih menjadi salah satu masalah kesetaraan jender di Indonesia. Menurut hasil riset Plan Indonesia pada 2011, satu dari tiga perempuan berusia 13-18 tahun telah melakukan pernikahan. Dari angka tersebut, hanya 5 persen perempuan yang berkesempatan melanjutkan pendidikannya.
Plan Indonesia adalah organisasi internasional yang fokus pada perbaikan kehidupan anak- anak tidak mampu, terutama untuk mendapatkan akses kesehatan, pendidikan, sanitasi, dan perlindungan. Plan kini berada di 50 negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Di Indonesia, organisasi ini beroperasi sejak 1969.
Direktur Plan Indonesia Mingming Remata-Evora mengatakan, kasus pernikahan dini menjadi penghambat terbesar anak perempuan Indonesia mendapatkan kualitas hidup yang setara dengan pria. Menurut dia, terdapat tiga masalah utama penyebab terjadinya pernikahan dini, yaitu faktor budaya, ekonomi, dan akses pendidikan.
”Kesadaran pendidikan berperan terhadap kurangnya pengetahuan masyarakat bahwa pernikahan dini berdampak buruk bagi anak perempuan. Selain itu, perkembangan teknologi juga berperan meningkatkan kecenderungan itu,” kata Mingming dalam perayaan Hari Anak Perempuan Sedunia, di Jakarta, Jumat (10/10).
Batas usia pernikahan
Untuk mengurangi hal itu, Plan Indonesia melakukan beberapa cara, seperti menggalakkan informasi untuk menyadarkan orangtua dan anak perempuan akan dampak buruk pernikahan dini. Selain itu, organisasi ini juga menggunakan jalur advokasi dengan mengajukan uji materi (judicial review) atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan. Gugatan yang diajukan salah satunya ialah meningkatkan batas usia pernikahan perempuan 16 tahun.
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar menyatakan dukungannya atas pengajuan uji materi itu. Dia mengungkapkan, pernikahan dini buruk bagi perkembangan psikologis dan biologis anak perempuan.
”Kami mendukung rencana itu. Kami harapkan kesadaran anak perempuan dan orangtua terus meningkat untuk memahami dampak buruk tersebut,” katanya.
Putus sekolah
Musri Munawaroh (18), perempuan yang menikah dini, mengungkapkan, desakan orangtua menyebabkan dia menikah pada usia 14 tahun. Orangtua, menurut dia, masih beranggapan, menolak lamaran akan mengakibatkan musibah bagi keluarga dan anak perempuan.
”Ibu memaksa saya menerima lamaran itu meskipun saat itu saya baru lulus SMP,” ujar Musri yang berasal dari Desa Tegaldowo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Lantaran keinginannya kuat untuk sekolah, Musri memutuskan melanjutkan sekolah dua tahun lalu. Keputusannya melanjutkan pendidikan ke SMK jurusan otomotif itu sempat ditentang oleh lingkungan dan keluarganya.
”Keputusan saya untuk sekolah membuat saya berpisah dengan mantan suami saya. Itu tidak masalah sebab saya punya hak untuk melanjutkan sekolah dan memperbaiki kualitas hidup saya,” paparnya. [] (A07)
*Sumber: Harian KOMPAS, 13 Oktober 2014 | Ilustrasi pernikahan dini